AKSI PEMBERONTAKAN G30S/PKI 1965
( LUBANG BUAYA )
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Aksi
Pemberontakan G30S/PKI”
Makalah ini berisikan tentang informasi Pemberontakan G 30S/PKI yang terjadi pada masa PKI merajalela di Indonesia dan usaha penumpasannya. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang pemberontakan ini.
Makalah ini berisikan tentang informasi Pemberontakan G 30S/PKI yang terjadi pada masa PKI merajalela di Indonesia dan usaha penumpasannya. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang pemberontakan ini.
Kami
menyadari bahwa Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Braja Selebah, 07 Desember 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
...............................................................................................................
i
Kata Pengantar
..............................................................................................................
ii
Daftar Isi
......................................................................................................................
iii
Bab I Pendahuluan
........................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam minggu pertama bulan oktober
1965 rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangakaian berita Radio Republik
Indonesia (RRI) Jakarta tentang terjadinya pergolakan pada tingkat tertinggi
pemerintahan ibukota Jakarta. Pada hari
jum’at tanggal 1 Oktober 1965 secara berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan
empat berita penting.
Siaran pertama, sekitar pukul 07.00
pagi, memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibukota
Republik Indonesia, jakarta telah terjadi “gerakan militer dalam Angkatan
Darat”yang dinamakan “Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letkol Untung,
Komandan Bataliyon Cakrabirawa, pengawal pribadi Presiden Soekarno. Sejumlah
besar jendral telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang penting-penting serta
obyek penting lainnya sudah dikuasai Gerakan tersebut dan “Presiden Soekarno
selamat dalam lindungan Gerakan 30 September”. Gerakan tersebut ditujukan
kepada jendaral-jendral anggota apa yang menamakan dirinya Dewan Jendral.
Komandan Gerakan 30 Sepetember itu menerangkan bahwa akan dibentuk Dewan
Revolusi Indonesia ditingkat pusat yang dikuti oleh tingkat kabupaten,
kecamatan dan desa.
Siaran kedua, sekitar pukul 13.00
hari itu juga memberitakan “Dekrit No.1 tentang Pembentukan Dewan Revolusi
Indonesia dan keputusan No.1 tentang susunan Dewan Revolusi Indonesia”. Baru
dalam siaran kedua ini diumumkan “Komando Gerakan 30 September”, yaitu Letkol
Untung sebgai komandan, Brigjend Supadjo, Letkol Udara Heru, Kolonel laut
Sunardi, dan Ajun Komisaris besar Polisi Anwas sebagai Wakil komandan.
Siaran kedua ini memuat dua
keanehan. Dari sudut organisasi militer, adalah aneh bahwa seorang Brigjend
menjadi wakil seorang Letkol. Selain itu, “Gerakan 30 September” ini ternyata
bukanlah sekedar gerakan militer dalam Angkatan Darat, oleh jarena dalam dekrit
No.1 tersebut diumumkan bahwa : “untuk sementara waktu, menjelangpemilu MPR
sesuai dengan UUD 1945, Dewan Revolusi Indonesia menjadi sumber dari segala
kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Siaran ketiga, pada pukul 19.00, RRI menyiarkan pidato radio Panglima Komando Tjadangan
Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayjend Soeharto, yang menyampaikan bahwa
gerakan 30 September tersebut adalah golongan kontra revolusioner, yang telah
menculik beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, dan telah mengambil alih
kekuasaan Negara, atau coup dari YPM presiden/panglima tertinggi ABRI/pemimpin
besar Revolusi dan melempar cabinet Dwikora ke kedudukan demisioner.
Perwira-perwira tinggi AD yang telah diculik adalah : Letjend. A.Yani, Mayjend
. Soeprapto, Mayjend. S. Parman, Mayjend. MT Haryono, Brigjend. D.I Pandjaitan,
dan Brigjend Soetoyo Siswomihardjo. Dengan prosedur tetap angkatan darat, Mayor
Jendral Soeharto mengumumkan bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat
dipegang oleh beliau.
Kemudian pada tengah malam tanggal 1
Oktober 1965 menjelang 2 Oktober, RRI menyiarkan pengumuman Presiden/Panglima tertinggi
ABRI.Pemimpin Besar Revolusi Soekarno bahwa beliau dalam keadaan sehat dan
tetep memegang pimpinan Negara dan revolusi.
Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober
1965pukul 01.30 RRI menyiarkan pidato Presiden/Panglima Tertinngi/Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno, yang selain menegaskan kemabali bahwa beliau berada
dalam keadaan sehat dan tetap memegang tumpuk pimpinan Negara serta tampuk
pimpinan Pemerintahan dan Revolusi Indonesia. Beliau mengumumkan bahwa tanggal
2 Oktober beliau telah memanggil semua panglima Angkatan Bersenjjata bersama
wakil perdana menteri kedua Dr.Leimena, dan pejabat penting lainnya. Pimpinan
Angkatan Darat langsung berada ditangan beliau dan tugas sehari-hari dijalankan
oleh MayJend Pranoto Reksosamodra, assisten I(II men/PANGAD, sedangkan MAyjend
Soeharto, panglima Kostrad ditunjuk untuk meklaksanakan pemulihan keamanan dan
ketertiban.
Sesuai pidato Presiden tersebut
makan pada tanggal 3 Oktober 1965 itu juga Panglima Kostrad Mayjend Soeharto
mengumumkan bahwa mulai saat itu pimpinan Angkatan DArat dipegang langsung oleh
PYM Preisden/Panglima tertinggi ABRI. Beliau sendiri masih diberi tugas untuk
menngembalikan keamanna sebagai sediakala.
Pada tanggal 4 Oktobet 1965pukul
20.00 RRI Jakarta menyiarkan rekaman pidato Mayjend Soeharto seteelah
menyaksikan pembonkaran tujuh jenazah, enam jenazah jendral dan satu jenazah
perwira pertama yang diculik “Gerakan 30 September” pada dini hari tanggal 1
Oktober 1965. jenazah tersebut ditemukan dalam keadaan rusdak didalam sebuaha
sumur tua di daerah lubang buaya, dekat pangkalan uadara Halim Perdana Kusuma,
Jakarta. Daerah itu digunakan sebagai lokasi latiahan sukarelawan dan
sukarelawati yang berasal dari pemuda rakyar (PR) dan Geerakan Wanita Indonesia
(Gerwani) oleh oknum-oknum Ankatan Udara. Kedua Organisasi ini adala
“organisasdi mantel” dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuh perwira yang
ditangkap oleh oknum-oknum Cakrabirawa di kediamannya masing-masing., dibawa ke
lokasi latihan PR dan Gerwani tersebut untuk disiksa dan dibunuh. Gerakan 30
September ternyata keluar merupakan aksi Cakrabirawa dan ke dalam merupakan
aksi PR dan Gerwani.
Pada tanggal 4 Oktober inilah
diketahui untuk pertama kalinya kejelasan mengenai “Gerakan 30 September”
tersebut. Gerakan itu ternyata terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI),
yang sejak tahun 1951 membengun kembali kekuatannya setelah terlibat dalam
pemberontakan terhadap republic Indonesia dalam bulan November1948 PKI madiun ,
jawa timur.
Rangakaian sidang mahkamah militer
Luar Biasa (Mahmillub) untuk mengadili mereka yang telibat dalam kudeta
tersebut telah mengungkapakan lebih dalam lagi keterlibatan PKI. Partai ini
tyerbukti merupakan dalang dan pelaku dari aksi subversi sejak tahun 1954, yang
berpuncak pada kueta berdarah pada awal bulan Oktober 1965 tersebut. Oleh
karena itu “Gerakan 30 september” disebut secara lengkap sebagai “Gerakan 30
September/artai Komunis Indonesia” atau “G30S/PKI”.
Pengungkapan peranan PKI dalam
sidang mahkamah tersebut telah menimbulkan reaksi hebat dalam masyarakat Indonesia,
yang berujung dengan ditetapkannya ktetapan MPR sementara No. TAP-XXV/MPRS/1966
tanggal 5 juli 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonsia, pernyataan
sebgai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara RI bagi Partai Komunis
Indonesia, dan larangtan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan
paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Penumpasan G30S/PKI mencakup
penumpasan secara fisik dengan menghancurkan pimpinan, organisasi dan gerakan
bersenjatanya. Penumpasan secara konstitusional dengan melarang paham
Marxisme/leninisme-Komunisme dan penumpasan secara ideologis dengan mengadakan
penataran Kewaspadaan Nasional.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut,
maka penulis merumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimana berkembangnya PKI di Indonesia pada tahun 1950-1965?
- Bagaimana aksi yang dilakukan PKI melalui Gerakan 30 September di tingkat pusat?
- Bagaimana tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam penumpasan G30S/PKI?
- Apa tuntutan massa dalam penumpasan G30S/PKI?
3. Batasan Masalah
Karena terbatsnya waktu dan
referensi yang digunakan, maka Makalah ini hanya membahas tentang pemberontakan
PKI pada tahun 1965 dan berkembangnya komunisme di indonesia pada tahun
1950-1965 di tingkat pusat, serta cara penumpasan yang dilakukan oleh
pemerintah serta tuntutan –tuntutan yang dilakukan oleh massa untuk membubarkan
PKI dan Ormas-ormasnya di Indonesia.
4. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
- Untuk memenuhi Tugas Akhir semester ganjil Mata Kuliah Dasar-dasar Ilmu Sejarah dan sebgai syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Semester I.
- Untuk memperoleh dan memperkaya pemahaman tentang Sejarah nasioanal yang terkait dengan sejarah perjuangan mempertahankan ideologi Pancasila pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
- Untuk ikut berperan serta dalam kegiatan ilmiah, khususnya ilmu Sejarah melalui studi kepustakaan guna memperkaya khazanah dunia ilmu.
- Untuk mempraktekan metodologi dan historiografi atau penulisan Sejarah.
Adapun kegunaan penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
- Dapat mengetahui berkembangnya PKI di Indonesia pada Tahun 1950-1965.
- Dapat mengetahui aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI di tingkat pusat.
- Dapat mengetahui tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penumpasan G30S/PKI
- Dapat mengetahui tuntutan yang di ajukan oleh massa dalam penumpasan G30S/PKI.
- Dapat memahami dan menjelaskan tentang pemberontakan G30S/PKI 1965 di tingkat pusat dan penumpasannya serta tuntutan massa terhadap penumpasan G30S/PKI.
- Dapat memahami arti sebuah perjuangan.
5. Metode Penulisan
Sejarah sebagai ilmu,adalah susunamn
pengetahuan dalam suatu sistem tertentu (a body of knowledge) yang
disusun menurut suatu metode khusus, dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran
tentang sesuatu (Helius Sjamsuddin,1996:16). Dalam makalah ini digunakan metode
historis dengan unsur utama kajian pustaka atau studi literatur sehingga sumber
sejarah yang berupa bacaan atau literatur menduduki tempat yang penting.
MenurutLouis Gottschalk (1975:34)
menyatakan bahwa metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara
kritis rekaman san peninggalan sejarah masa lampau kemudian merekontruksinya
berdasarkan data yang diperoleh, sehingga dapat menghasilkan bentuk
historiografi. Informasi-informasi tersebut didaptkan dengan studi pustaka,
buku-buku penelitian sejarah, dokumentasi organisasi, karangan-karangan dari
subjek yang diteliti akan menjadi bahan dasar dalam penulisan makalah ini.
Historiografi dalam penulisan pemberontakan G30S/PKI 1965 dan usaha
pemberantasannya ini didekati dengan metode sejarah. Hal ini mengingat
informasi yang akan direkonstruksi merupakan peristiwa masa lampau. Maka,
langkah-langkah yang ditempuh adalah:
- Heuristik
Heuristik adalah kegiatan menghimpun
sumber-sumber atau jejak-jejak sejarah yang ada pada masa lampau. Untuk
memperoleh sumber sejarah yang relevan dengan perumusan masalah, maka
cara yang dilakukan adalah melalui studi literatur.
2. Verifikasi
Setelah langkah pengumpulan sejarah
selesai maka langakah yang dilakukan selanjutnya adalah kritik sumber. Kritik
adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menyelidikai apakah sumber sejarah
itu murni, baik bentuk maupun isinya. Setelah ditentukan beberapa sumber yang
yang mengandung permasalahan yang akan dibahas, kemudian dilakukan kritik
terhadap sumber-sumber tersebut. Kritik ada dua macam, yaitu kritik intern dan
kritik ekstern. Kritik intern adalah kritik yang dilakuakan terhadap isi materi
, apakah sumber yang dipakai sebagai data tersebut dapat memberikan informasi
yang dapat dipercaya atau tiadak. Sedangkan, Kritik ekstern adalah kritik
terhadap keaslian sumber.
3. Interpretasi
Sumber sejarah yang terpilih
kemudian di analisis dan di sintetiskan untuk mewujudkan adanya saling
keterkaitan. Kemudian diberikan tafsiran-tafsiran dan dikorelasikan dari data
pada sumber satu dengan sumber yang lain . hasilnya disusun secara kronologis
dan sistematis, diberi batasan dan dirumuskan masalahnya dan siap untuk
ditulis.
4. Historiografi
Langkah ini meruapkan langkah
terakhir yang dilakukan. Historiografi adalah langkah penyusunan kisah sejarah
berdasarkan kerangka dan rumusan masalah (Louis Gottschalk,1975:32).
6. Garis Besar Isi
Isi dari makalah secara garis besar
adalah sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar
belakang masalah, batasan masalah, masalah, tujuan dan kegunaan
penulisan, metode penulisan, dan garis besar makalah.
Bab II. Berkembangnya PKI di
Indonesia Tahun 1950-1965
Pada bab ini dijelaskan
berkembangnya pengaruh komunisme di Indonesiapada masa demokrasi liberal dan
demokrasi terpimpin. Munculnya nama DN.Aidit sebagai pemimpin dalam PKI dan
membuat provokasi dan ingin mengkomunismekan bangsa Indonesia dengan membuat
partai dan menyusun program guna melaksanakan aksinya.
Kemenangan PKI dalam pemilu 1955
membuat peluang PKI untuk membentuk negara dan masyarakat komunis yang sempat
tertunda pada tahun 1948 semakin besar. Dengan kemenangan tersebut maka banyak
orang-orang PKI yang duduk dalam sistem pemerintahan hal ini dimanfaatkan untuk
mengubah ideologi bangsa dari pancasila menuju ke komunisme.
Bab III. Aksi G30S/PKI ditingkat
Pusat
Pada bab ini akan menjelaskan
tentang aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI, dari aksi sabotase,teror , agitasi,
propaganda,aksi fitnah pada tubuh Angkatan Daratbahkan sampai melakukan
penculikan dan pembunuhan terhadap 7 perwira tinggi Angkatan Darat.
Bab IV. Penumpasan G30S/PKI dan
Tuntutan Massa Dalam Pembubarannya.
Dalam bab ini akan dijelaskan
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh panglima kostrad, penemuan lokasi dimana
para jenazah perwira diculik dan dibunuh oleh kaki tangan PKI
Disini juga menyebutkan bagaimana
reaksi rakyat dengan tindakan spontan yang dilakukan oleh massa dan trituranya.
Yang akhirnya Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto diberikan mandat oleh presiden
pada tanggal 3 Oktober 1965 untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan
ketertiban.
Pada tanggal 11 Maret 1966
dikeluarkannya perintah kepada Letjend TNI Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perluuntuk menjamin keamanan dan ketertiban serta
kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia, serta menjamin
keselamatan dan kewibawaan presiden demi keutuhan NKRI.
Bab V. Kesimpulan
Pada bab ini memuat kesimpulan
tentang terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Gerakan 30 September yang
didalangi oleh PKI.
BAB II
BERKEMBANGNYA PKI DI INDONESIA TAHUN 1950-1965
1. Tampilnya
D.N. Aidit dalam Kepemimpinan PKI, Tahun 1950
Alam demokrasi liberal yang
berlangsung di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959 memberikan kesempatan
kepada PKI untuk mengadakan rehabilitasi walaupun sebelumnya partai komunis itu
telah melakukan pemberontakan. Alimin mengakifkan kembali PKI pada 4 februari
1950. Akan tetpi, kepemimpinan Alimin ini tidak berjalan lama karena pada Juli
1950 D.N. Aidit yang melarikan diri ke luar negeri akibat pemberontakan
PKI-Madiun kembali lagi ke indonesia bersama M.H Lukman. Ketika mendarat di
Tanjung Priok mereka dibantu oleh Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah alias Sjam,
yang pada saat itu mempunyai kedudukan sebgai salah seorang pimpinan buruh di
Pelabuhan Tanjung Priok.
Tindakan pertama D.N. Aidit adalah
menyatukan kembali seluruh potensial partai. Setengah tahun kemudian D.N. Aidit
berhasil mengambil alih kepemimpinan PKI dan mengintensifkan propaganda
untuk merehabilitasi nama PKI dengan mengeluarkan “Buku Putih” tentang
pemeberontakan Madiun. Bahkan, Alimin menuntut pengadilan dan penguburan
kembali tokoh-tokoh PKIyang dihukum mati akibat pemberontakan PKI-Madiun,
tetapi hal ini ditolak oleh pemerintah RI.
Kepemimpinan D.N. Aidit menjadi
semakin kuat setelah tokoh-tokoh muda lainnya, seperti Njoto dan Sudisman,
bergabung. Pada bulan Januari 1951 CC(Comitt Central) PKI memilih politbiro
baru yang terdiri atas D.N Aidit, M.H Lukman, Njoto, Sudisman dan Alimin.
Pemimpin-pemimpin baru inilah yang kemudian berhasil membangun kembali dan
mengembangkan PKI. Politbiro ini menjalankan Strategi Front Persatuan Nasional[1]. Sampai
awal tahun 1952 Politbiro CC PKI memusatkan perhatian pada perumusan
taktik utama, bentuk perjuangan dan bentuk organisasi yang kemudian diikuti
oleh PKI dalam tahun-tahun berikutnya.
Awal tahun 1951 DN Aidit jugsa
merehabilitasi Mohammad Jusuf (orang yang pernah maha dikutuk oleh orang-orang
komunis karena tindakan penyelewengan garis partai dengan melakukan
pemberontakann melawan Pemerintah RI di bogor pada tahun 1946.) kemudian pada
bulan agustus 1951 PKI menggerakkan kerusuhan-kerusuhan di kota Jakarta dan
Bogor. Di Bogor banyak penduduk yang menjadi korban. Kabinet Sukiman melakukan
penangkapan dan penggeledahan dirumah- rumah para pemimpin PKI. Oleh PKI
peristiwa penangkapan dan penggeledahan ini disebut “ Razia Agustus 1951” dan
dianggap sebagai provokasi pemerintah Sukiman dalam mencari alasan untuk
membubarkan PKI. Akibat tindakan pemerintah itu, sejumlah besar pimpinan PKI
menjadi tahanan politik dan sebagian kecil melarikan diri. Dalam operasi
penangkapan ini D.N. Aidit berhasil lolos dan melarikan diri ke Moskow,
sedangkan PKI melaksanakan gerakan bawah tanah.
Tahun 1953 D.N. Aidit kembali ke
Indonesia dari Moskow. Ia muncul dengan konsep baru yang dikenal dengan “Jalan
Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”. Melalui konsep ini D.N.Aidit sekaligus
menegaskan jalan yang revolusioner di samping cara-cara parlementer.
Dengan berdasarkanMarxisme-Leninisme
dan alanisis mengenal situasi kondisi Indonesia sendiri, CC PKI di bawah
pimpinan D.N.aidit menyusun program partai untuk mencapai tujuannya, yaitu
mengkomuniskan Indonesia. Adapun isi program tersebut adalah sebagai berikut.
ü Membina front persatuan
nasional yang berdasarkan persatuan buruh dan kaum tani.
ü Membangun PKI yang meluas di
seluruh negara dan mempunyai karakter massa yang luas, yang sepenuhnya
terkonsolidasi di lapangan idiologi, politik, dan organisasi.
Dalam pelaksanaan membina font
persatuan nasional,PKI merasa perlu untuk membina apa yang mereka sebut borjuis
nasional[2] dan
borjuais kecil[3] kota karena
oleh PKI golongan-golongan ini dinilai sebagai sebagai golongan yang tertekan
oleh penghisap imperalis asing.Pembinaan kedua golongan ini amat penting,di
samping membina buruh dan tani. Namun,PKIdi bawah kepemimpinan D.N Aidit
menaruh perhatian yang besar kepada para tani untuk dapat dimanfaatkan dalam
mewujudkan konsep Demokrasi Rakyat. Dengan propaganda yang menarik dilancarkan
bahwa petani harus merdeka,memiliki tanah atau menyewa tanah ,dan menerima upah
dengan harga yang sesuai dengan yang di kehendakinya. Selanjutnya,D.N.Aidit
berpendapat bahwa desa adalah sunber bahan makanan,sumber prajurit
revolusioner,sebagai tempat menyembunyikan diri jika terpukul di perkotaan,dan
sebagai basis untnk merebut kembali perkotaan.
Dalam membangun PKI D.N.Aidit
mengatakan “ Kalau kita mau menang dalam revolusi,kalau kita mau mengubah wajah
masyarakat yang setengah jajahan menjadi Indonesia yang merdeka penuh, kalau
kita mau ambil bagian dalam mengubah wajah dunia, maka kita harus mempunyai
partai model partai komunis Uni Sofiet dan model partai komunis Cina”
Jadi, jelas disini bahwa titik tolak
strategi dan taktik PKI pada masa kepemimpinan D.N.Aidit ialah dengan memakai
model partai komunis Uni soviet dan model partai komunis Cina sekaligus,
disesuaikan dengan kondisi nyata di Indonesia.
2. PKI pada
Masa Demokrasi Liberal, Tahun 1950-1959
Setelah D.N.Aidit memperoleh
kesempatan merehabilitasi PKI dalam alam demokrasi liberal,dia dan
kawan-kawannya mengambil kesimpulan bahwa untuk memperoleh kesempatan duduk
dalam pemerintahan, seperti pada masa sebelum pemberontakan PKI-Madiun, PKI
perlu mengadakan aliansi dengan kekuatan-kekuatan politik yang penting. Pada
awal tahun lima puluhan di Indonesia terdapat Partai besar, yaitu Partai
Nasional Indonesia ( PNI ) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia ( MASYUMI ).
Menurut jalan pikiran PKI, yang potensial dan harus didekati adalah PNI.
Ketika kabinet Sukiman jatuh pada
tanggal 23 februari 1952 sebagai akibat persetujuan Mutual Security Asct (
MSA )[4] dengan
Amerika Serikat yang ditanda tangani oleh Menteri Luar Negeri Mr.Achmad
Soebardjo (Masyumi ), CC PKI mengeluarkan pernyataan politik yang pada
hakikatnya menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi.
Meskipun kemudian dalam kabinet baru yang dibentuk dibawah pimpinan Mr. Wilopo
( PNI ) ternyata terdapat pula menteri-menteri dari Masyumi, tetapi PKI tetap
menyatakan dukungannya walaupun kecewa karena Masyumi diikutsertakan.
Pernyataan dukungan PKI itu berisi
pembetitahuan kepada partai-partai pendukung kabinet bahwa PKI sedia mendukung
mereka dengan satu imbalan yang ringan, yaitu agar partai-partai politik
mengahpuskan kecurigaan dan sikap anti terhadap PKI beserta
organisasi-organisasi massanya ( ormas-ormasnya ). Upaya PKI tersebut beshasil
dan sejumlah pimpinan PNI mulai bekerja sama dengan PKI. Kerja sama itu
berpuncak pada usaha menjatuhkan kabinet Mr.Wilopo oleh PNI sendiri, meskipun
kabinet itu dipimpin oleh seorang tokoh PNI. Sebagai penyebabnya ialah
peristiwa Tanjung Murawa di Sumatra Utara, yakni insiden antara polisi dan
penyerobot tanah perkebunan milik Negara yang didukung oleh PKI. Peristiwa ini
merupakan kesempatan bagi PNI dan PKI untuk merongrong Gubernur Sumatra Utara,
Abdul hakim dan Menteri Dalam Negeri Mr.Moh.Roem, yang kedua-duanya dari
Masyumi. Akhirnya, kabinet Mr.Wilopo jatuh.
Setelah kabinet Mr.Wilopo jatuh PKI
mengeluarkan pernyataan yang menuntut pembentukan kabinet baru sesuai dengan
Font Persatuan yang di dalamnya termasuk PKI, tetapi tanpa Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Krisis kabinet berlangsung agak lama dan beberapa
formatur telah menemuai kegagalan. Dalam pernyataan berikutnya, PKI meniadakan
tuntutanya untuk duduk di dalam kabinet baru. Setelah satu bulan, terbentuknya
kabinet baru dibawah pimpunan Mr.Ali Sastroamidjojo ( PNI ) dengan
menteri-menteri dari berbagai partai kecil, tetapi tanpa Masyumi dan PSI.
Kabinet ini disebut kabinet Mr.Ali Sastroamijojo 1. Dan pernyataan PKI setelah
mendukung kabinet itu disebutkan bahwa kabinet itu sebagai suatu “Kemenangan
gemilang daripada demokrasi terhadap fasisme[5]”.
Selama masa pemerintahan kabinet
Mr.Ali Sastroamijojo 1, PKI memberikan dukungannya secara gigih pada PNI.
Walaupun diketahui oleh umun bahwa kabinet tersebut tidak berhasil mengatasi
kesulitan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia, tetapi PKI tetap membela
kabinet Mr.Ali Sastroamijojo I. Setiap kali kabinet terrancam perpecahan dari
dalam, PKI mengadakan pembelaan yang keras untuk kabinet dan menyerang
kelompok-kelompok yang hendak menjatuhkannya.
Posisi PKI menjadi semakin mantap
berkat aglitasi dan propaganda D.N. Aidit yang intensif sehingga pada
Pemilihan Umum tahun1995 PKI berhasil mengumpulkan enam juta suara pemilih.
Dengan hasil yang dicapainya itu, PKI masuk salah satu dari empat besar setelah
PNI, Masyumi, dan Nahdatul Ulama(NU). Meskipun PKI mendapat suara yang cukup
besar dalam Pemilu, namun PKI tidak berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk
setelah pemilu tersebut.
Dalam suasana ysng kurang
menguntungkan bagi PKI tersebut, presiden Soekarno secara terbuka menyatakan
keinginannya agar PKI diikutsertakan dalam kabinet. Presiden Soekarno
berpendapat bahwa PKI perlu dikutsertakan dalam kabinet karena partai itu telah
berhasil tampil sebagai salah satu dari empat partai besar dalm pemilu. Akan
tetapi, keinginan presiden tidak terwujud karena kabinet yang terbentuk adalah
kabinet koalisi antara PNI-Masyumi-NU. Kabinet yang tersusun setelah pemilu ini
dinamakan Kabinet Mr. Ali Sastroamidjojo II. Walaupuin gagal, sikap
Presiden Soekarno tersebut telah banyak menolong PKI dalam proses perkembangan
politik Indonesia selanjutnya.
Keadaan yang dihadapi kabinet Mr.
Ali Sastroamidjojo II memang sulit, apalagi setelah Drs. Moh. Hatta
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada bulan Desember
1956. Berpisahnya Dwitunggal Soekarno-Hatta[6] ini
merupakan perkembangan yang menguntungkan bagi PKI karena setelah itu PKI lebih
leluasa geraknya didalam upaya menarik Presiden Soekarno agar lebih dekat lagi
kepda PKI.
Kemenagan yang dicapai PKI dalam
Pemilu 1955 sebagai hasil aglitasi dan propaganda D.N. Aidit sungguh sesuatu
yang luar biasa, jika diingat kembali bahwa tujuh tahun sebelumnya PKI pernah
mengkhianati perjuangan bagsa Indonesia. Dengan kemenangan itui, PKI berusaha
kembali untuk mewujudkan tujuan politiknya yang telah gagal mereka capai pada
tahun 1948, yakni membentuk negara lain masyarakat komunis yang sebenarnya
tidak dikenal dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila.
Untuk mencapai tujuan politik tersebut, PKI melakukan langkahnya dengan cara
menanamkan pengaruhnya diberbagai bidang kehidupan kenegaraan, bauki dibidang
ideologi, politik maupun dibidang militer.
Dibidang ideologi, PKI telah
melancarkan upaya perubahan yang mendasar terhadap pancasila. PKI berusaha
menggati sila pertama dari pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan
rumusan “kemerdekaan beragama”, seperti yang dikemukakan oleh Njpto dalam
sidang-sidang Konstutuante tahun 1958. Menurut PKI tidak semua masyarakat
Indonesia beragama monotheis, banyak di antaranya yang beragama politheis,
bahkan ada yang tidak berahgama sama sekali. Jelaslah bahwa sejak semula PKI
sudah berusaha untuk mengganti Pancasila denagn paham lain.
Dibidang politik dan milter, PKI
menyusun strategi politiknya dalam Kongres V yang diselenggarakan tahun 1954.
Strategi politik itu mereka sebut Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan
(MKTBP). Salah satu sasaran dari strategi ini adalah menanampakn paham
komunisme dikalangan anggota-anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI)sebgai kekuatan sosial politik yang menentang PKI.
Disamping berkembangnya pengaruh
PKI, ketidakpuasan yang melahirkan ketegangan-ketegangan politik terus
meningkat. Dengan alasan untuk menyelamatkan negara dan bagsa dari perepecahan,
Soekarno yang telah berhasil didekati oleh PKI melontarkan sebuah konsepsi yang
disampaikannya pada tanggal 21 Februari 1957 dalam pidatonya yang berjudul
“Menyelamatkan Republik Indonesia”, yang kemudian dikenal sebagai
“Konsepsi Presiden”. Dalam gagasan itu Presiden mengemukakan konsep politik
yang disebut Demokrasi terpimpin. Dalam rangka melaksanakan konsep tersebut
Preisden mengusulkan pembentukan kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional, yang
didalamnya duduk wakil-wakil parpol dan semua golongan fungsional. Preiden
Soekarno menghendaki agar orang-orang PKI duduk dalam kabinet dan Dewan
Nsioanal tersebut walaupun beliau belum mengetahui bahwa banyak partai politik
yang tidak menyetujui gagasannya. Bagi PKI, keinginan Presiden Soekarno itu
sangat menguntungkan,. Oleh karena itu, PKI segera menyatakan dukunhgannya, terutama
mengenai pembentukan kabinet Gotong Royong dan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Dengan terbentuknya pemerintahan koalisi nasional, dan melalui pemerintahan
koalisi nasional itulah akan dapat diwujudkannya Front Persatuan
Nasional, yaitu adanya organisasi-organisasi yang bersimpati dan mendukung PKI.
3. PKI pada
Masa Demokrasi Terpimpin, Tahun 1959-1965
Konstituante hasil pemilu 1955 tidak
berhasil menyusun Undang-undang dasar baru sebagai Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS). Ketidakberhasilan itu disebabkan oleh adanya perbedaan
pendapat yang tajam mengenai dasar negara di antara anggota-anggota
konstituante. Untuk mengatasi kemacetan di dalam Dewan Konstituante, Presiden
Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945. Isi dekrit
presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut:
- Bubarkan Konstituante
- Belakunya kemabali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
- Pembentukan MPRS dan DPAS
Penjelasan mengenai Dekrit Presiden
5 Juli 1959 tersebut disampaikan dalam pidatonya yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”, yang di ucapakan tanggal 17 Agustus 1959.
Presiden Soekarno selanjutnya
meminta kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA) agar isi pidato tersebut
dirumuskan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yang memimpin
Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung itu adalah D.N. Aidit, ketua CC PKI.
Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk memasukkan program-program PKI kedalam
GBHN, yang kemudian dikenal sebagai “Manifesto Politik (manipol) RI[7]”. D.N.
Aidit berussahaq memenfaatkan kedudukannya itu untuk merumuskan isi manipol
sesuai dengan thesis revolusi PKI, yaitu “Masyarakat Indonesia dan Revolusi
Indonesia (MIRI)[8]” yang
diruskan PKI tahun1957, dua tahun sebelum Presiden mengucapkan pidato “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”. Meskipun upaya PKI untuk mendominasi isi manipol sesuai
dengan konsep MIRI mendapat hambatan yang gigih dari tokoh-tokoh anti komunis
di DPA, namun konsep manipol akhirnya disetujui Presiden.
Keleluasaan PKI semakin bertamabah
ketika Presiden membentuk Front Nasional[9].
Pembentukan Front Nasional tersebut semula dimaksudkan sebagai penggerak
masyarakat, tetapi dalam kenyataannya menyimpang dri tujuan tersebut karena
badan itu menjadi sasaran penggarapan PKI untuk dibawa kedalam strategi Front
Persatuannya. PKI bersusaha membawa Font Nasional menjadi alat politiknya
dengan cara memanfaatkan organisasi-organisasi massa, yang menjadi anak
organisasi PKI atau yang sudah dipengaruhi PKI.
Pertengahan tahun 1960 PKI mencoba
kekuatannya untuk menghadapi TNI-AD dengan melancarkan kritik dan tuduhan
bahawa TNI-AD tidak bersungguh-sungguh dalam menumpas pemberontakan
PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat
Semesta). Bersama dengan dilancarkannya kritik dan tuduhan tersebut, PKI
melakukan pengacauan di beberapa daerah, seperti di sumatera Selatan,
Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pimpinan TNI-AD menilaia bahwa kritik
dan tuduhan itu adalah upaya untuk mengacau keadaan, apalagi dengan adanya
bukti terjadinya kekacauan oleh PKI di beberapa daerah tersebut. Untuk itu,
TNI-AD melalui wewenagnya selaku Penguasa Perang Daerah (Peperda) menghentikan
dan memebekukan berbagai kegiatan PKI atas dasar Undang-Undang Keadaan Bahaya
yang sedang berlaku pada saat itu. Oleh Perpeda dilakuikan pula penangkapan dan
pemeriksaan terhadap tokoh-tokoh PKI, serta melarang media massa PKI terbit dan
beredar. Dan menyapaikan kepada preisden agar tidak percaya terhadap loyalitas
PKI, tetpai preisden tidak mengindahkannya, bahkan sebaliknya beliau
memperingatkan TNI-AD supaya fobi (perasaan takut terhadap sesuatu tanpa sebab
tertentu) terhadap PKI.
Keberhasilan PKI secara politik
semakin memperkuat PKI untuk memperbesar dan mancapai cita-citanya. Untuk
memperoleh perimbangan kekuatan, PKI melukan “ofensif manipolis[10]”, Kemudian
dirngkatkan menjadi “ofensif revolusioner[11]”, yang
ditujukan kepada semua kekuatan sosial politik yang tidak mereka senangi.
Selain itu, PKI berusaha pula merangkul golongan lain yang kiranya dapat
dijadikan “kawan”, Seperti Pertindo dan mensyusupi PNI melalui Ir.surachman,
yang ketika itu menjabat sebagai Sekjen DPP PNI.
Tahun 1964 intensitas ofensif
revolusioner PKI terhadap tokoh-tokoh politik yang dianggap sebgai lawannya
makin ditingkatkan. Secara intensif PKI melancarkan tuduhan kontra revolusi
terhadap lawan-lawan politik mereka. Posisi PKI semakin kuat dengan dibentuknya
kabinet Dwikora pada tanggal 27 Agustus 1964, yang didalamnya duduk beberapa
tokoh PKI Sebagai Menteri Koordinator (Menko) dan menteri. Pembentukan Komando
Tertinggi Retrooling[12] Aparatur
Negara ternyata sejalan dengan PKI, karena itu pembentukan ini mereka sambut
dengan tangan terbuka. Namun, ABRI tidak tinggal diam, dan terus mengawasi
gerak-gerik PKI. Bagi PKI tidak ada cara lain untuk kabur dari pengawasan
tersebut, kecuali dengan melancarkan fitnah dan kampanye menjelek-jelekkan
Jendral A.H. Nasution sebagai seorang tokoh ABRI yang dikatakannya ingin
menyabotase Nasakom.
Sementara itu, pada tahun 1963
tersiar adanya dokumen CC PKI yang berisi program rahasia yang berjudul “Resume
Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini”. Pragram itu berupa program jangka pendek
yang berisis penilaian situasi dan rencana aksi untuk mewujudkan tujuan akhir
PKI. Dokumen rahasia itu diketemukan oleh anggota Partai Murba. Oleh Wakil
Perdana Menteri III, Dr. Chaerul Saleh, seorang tokoh Partai Murba, dokumen itu
diserahkan kepada ketua umum DPP PNI, Mr. Ali Sastroamidjojo. Selnjutnya,
dokumen itu dipaparkan dalam sidang kabinet pada awal Desember 1964. PKI
membantahnya dan dengan berbagai dalih mengatakan bahwa dokumen tersebut adalah
dokumen palsu, buatan kaum Trotskyst[13]yang dibantu
kaum Nekolim[14] berusaha
untuk menghancurkan PKI. Tersiarnya dokumen rahasia itu menyebabkan ketegangan
Politik makin meningkat karena partai-partai lain mencurigai OKI. PKI tetap
meyakinkan kepada Presiden bahwa dokumen itu palsu. Untuk meredam ketegangan,
Presiden memanggil para pemimpin partai ke istana Bogor dan memerintahkan
nmereka menyusun sebuah rumrusan menyelesaikan masalah persengketaan antar
partai. Pada tanggal 12 Desember 1964 sepuluh paarpol menandatangani sebuah
deklarasi yang disebut deklasi Bogor. Deklarasi itu drianggap sebagai cetusan
kebulatan tekad partai-partai dihadapan Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno.
Soal dokumen rahasia tidak disebut-sebut dalam deklarasi tersebut dan dengan
demikian masalahnya doianggap selesai.
Selama tahun 1964 itu dapat dicatat
sejumlah aksi yang dilakukan PKI, antara lain sebagai berikut :
- Gerakan riset di kecamatan-kecamatan untuk memastikan kekuatan apa yang oleh PKI disebut petani miskin.
- Aksi yang menuntut penyitaan milik inggris dan AS
- Aksi menuntut retooling, tuntutan penggantian pejabat yang anti PKI, dan aksi tunjuk hidung
- Pengindonesiaan Marxisme
- Aksi-aksi teror di berbagai daerah.
BAB III
AKSI G30S/PKI DI TINGKAT PUSAT
1. PKI
Melaksanakan Tindakan Peningkatan Situasi Ofensif Revolusioner, Tahun 1964-1965
Setelah penyusupan kader-kader PKI
ke dalam tubuh aparatur negara, termasuk ABRI, organisasi Politik, dan
Oraganisasi kemasyarakatanmencapai taraf yang oleh PKI dinilai cukup kuat, maka
PKI mulai melaksanakan kegiatan yang mereka sebut sebagai tahap ofensif
revolusioner, hal tersebut meliputi:
- A. Sabotase, Aksi Sepihak dan Aksi Teror
Upaya PKI,untuk menciptakan suasana
revolusionr, selain dilakukan melalui kegiatan-kegiatan politik yang menghebat,
juga melalui kegiatan-kegiatan sabotase, aksi sepihak dan
teror.kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah:
1) Tindakan Sabotase terhadap
Transportrasis Umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase yang dilakukan
kaum Komunis terhadap sarana-sarana penting Pemerintah mulai terlihat sejak
bulan Januari 1964 rangkaian kereta api rute selatan melanggar sinyal dan
langsung masuk stasiun purwokerto, jawa tengah sehingga menabrak rangkaian
gerbong yang berhenti di stasiun tersebut. Tanggal 6 Februari 1964, kasus
tabrakan antara dua rangkaian Kereta Api juga terjadi di Kallyasa, Sala, Jawa
Tengah. Pada tanggal 30 April 1964, peristiwa yang sama terjadi di Kroya, Jawa
Tengah. Tanggal 14 Mei 1964 di Cirebon dan Semarang, serta tanggal 6 Juli 1964
di Cipapar, Jawa Barat.
Menyususul kemudian beberapa kasus
lepas dan larinya gerbong-gerbong dari rangkaian lokomotifnya di Tanah
Abang tanggal 18 agustus 1964, di Bandung tanggal 31 Agustus 1964,
Tasikmalaya tanggal 11 Oktober 1964. Seminggu kemudian tanggal 18 Oktober 1964
di daerah yang sama yaitu Tasikmalaya terjadi kasus kecelakaan yang menimpa 20
rangkaian gerbong KA yang mengangkut peralatan Militer.
Dari hasil interogasi oleh aparat
keamanan menunjukkan bahwa kasusu-kasus yang terjadi merupakan tindakan
kesengajaan (sabotase) yang bertendensi politik. Para pelaku adalah anggota
Serikat Buruh Kereta Api(SBKA) yang merupakan organisasi yang berada dibawah
naungan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
2) Aksi-Aksi Sepihak BTI (Barisan
Tani Indonesia)
Pada tanggal 23 Mei 1964, setelah
kegiatan HUT ke-44 PKI yang dilaksanakan di Semarang , ketua CC PKI D.N Aidit
serta 58 tokoh PKI termasuk didalamnya Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang
terpengaruh oleh PKI mengadakan gerakan Turba (Turun Kebawah) yang sekaligus
melakukan penelitian yang bertujuan untuk membuktikan bahwa petani di daerah
Jawa sangat miskin dan sangat potensial untuk digerakkan mendukung program PKI
melalui aksi-aksi melawan tuan tanah di desa-desa.
Untuk dapat mempengaruhi para petani
tersebut, PKI berpura-pura membantu mereka dengan cara melakukan kampanye
penuntutan Undan-undang Bagi hasil tanah pertanian. Sejalan dengan kampanye
tersebut, untuk memepertajam pertentangan kelas sesuaia dengan doktrin
Marxisme-Leninisme. PKI mengkampanyekan pula sikap anti “Tujuh Setan
Desa” yaitu; tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukan ijon, kapitalis
birokrat (kabir), bandit desa dan pemungut/pengumpul zakat. Dalam melaksanakan
kampanye melawan “Tujuh Setan Desa”, PKI dengan gencar melakukan aksi massa dan
aksi sepihak secara sistematis dan terencana, aksinya antara lain:
1)
Aksi Massa BTI di Jawa Tengah
Kasus peratama yang mengawali aksi
massa oleh BTI[15] adalah
terjadinya konflik fisik anttara kurang lebih 1000 orang sesama petani di desa
Kingkang, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten pada tanggal 26 Maret 1964. Atas
hasutan tokoh-tokoh PKI setempat ratusan massa BTI melakukan pengeroyokan
terhadap seorang petani yang bernama Partosoekardjo sehubungan dengan
sewa-menyewa dengan Kartodimedjo.
2)
Aksi Massa BTI di Jawa Barat
Kemudian rentetan aksi BTI
berikutnya terjdi di area kehutanan milik negara di hutan Karticala dan tugu,
kabupaten indramayu. Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 1964 terjadi pengeroyokan
dan penganiayaan terhadap 7 anggota polisi kehutanan, yang menjaga perkebunan
milik negara.
3)
Aksi Massa BTI di Jawa Timur
Pada tanggal 15 Januari 1965 terjadi
gerakan aksi massa yang dilakukan oleh BTI di desa Gayam, Kediri.sekitar 1000
orang anggota BTI menyerbu dan menganiaya seorang petani bernama Soedarno yang
sedang mengerjakan lahan sawahnya dengan alasan sawah yang dikerjakan oleh
Soedarno adalah sawah sengketa.
3) Aksi-aksi Teror
1)
Peristiwa Kanigaro Kediri
Tanggal 13 Januari 1965 sekitar
pukul 04.30 massa anggota PKI yang di pimpin oleh Ketua Pengurus Cabang Pemuda
Rakyat Daerah Kediri, Soerdjadi, mengadakan terot denagn melakukan penyerbuan
terhadap para akytivis Pelajar Islam Indoneisa (PII) yang sedang mengadakan
pelatihan mental di desa Kanigoro, Kediri. Pada kesempatan itu PKI/PR melakukan
pemukulan dan penganiayaan terhadap para Kyai dan Imam masjid serta
merusak rumah ibadah bahkan menginjak-injak kitab suci Al-Qur’an.
2)
Aksi Massa dan Demonstrasi Anti Amerika
Awal Desember 1964 sejumlah massa
pendukung PKI mengadakan demonstrasi untuk memprotes kehadiran dan kegiatan
Kantor Penerangan AS, United States Information Services(USIS) di
seluruh indonesia. Dalam aksi massanya, mereka menghancurkan perpustakaan USIS
yang berada di Jakarta dan Surabaya. Pada tanggal 11 Desember 1964, Wakil Ketua
Umum Panitia Aksi Pembikotan Film Amerika Ny. Oetami Soeryadarma menuntut agar American
Motion Pictures association Of Importers (AMPAI)dibuabarkan. Untuk
memperkuat tuntutan tersebut pada tanggal 28 Februari 1965 sejumlah massa
PKI berdemonstrasi didepan ksiaman Dubes AS, Howard P. Jones seminggu kemudian
Gerwani mengirim telegram kepada Presiden dan Menlu Dr. Soebnandrio agar
menyatakan Pesona non Gatra[16] terhadap
direktur AMPAI, Bill Palmer, dan sekaligus mengusirnya dari Indonesia.
Dua minggu setelah peristiwa di
kantor AMPAI Jalkarta, pada tanggal 1 April 1965 seluruh massa pendukung PKI
menyerang villa milik Direktur AMPAI di tugu puncak, Bogor meskipun Bill
Palmer tidak ada dikediamannya saat itu.
- B. Agitasi dan Propaganda
Rangakaian aksi Massa PKI dalam
rangka menciptakan situasi ofensif revolusioner lebih di tingkatkan lagi
melalui aglitasi dan Propagandadengan tujuan untuk lebih membakar emosi massa.
Dalam upaya tersebut, PKI menggunakan unsur pers ysng sudah didominasi PKI,
antara lain Kantor Berita antara dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Melalui tokoh-tokoh utamanya, PKI membangkitkan semangat progresif revolusioner
dengan melakukan pidato-pidato di segala forum kegiatan, baik pemerintahan
maupun non pemerintahan.
Slogan politik tentang keterlibatan
PKI dan mewarnai kehidupan politik dimana-mana sehingga gamabaran apa yang di
sebut sebagai situasi ofensif revolusionerbenar-benar snagat mendominasi
kohidupan sosial-politik mkasyarakat saat itu. PKI juga memanfaatkan program
pendididkan kader revolusi dan kader Nasakom yang diselenggarakan oleh
pemerintah melalui Front Nasional.
2. Aksi
Fitnah Terhadap Pimpinan TNI-AD tahun 1965
Setelah PKI secara politis berhasil
memperlemah lawan-lawannya, baik parpol, ormas maupun perorangan, maka
tinggallah satu kekuatan sebagai penghambat utama bagi pelaksanaan program politiknya,
yaitu ABRI, khususnya TNI-AD. Karenanya PKI menyusun konsep-konsep kegiatan
yang bertujuan melemahkan posisi pimpinan TNI-AD. Diantaranya dengan melakukan
fitnah politik yangditujukan kepada TNI-AD
- Isu Dewan Jendral
Dalam rangka memperburuk citra
TNI-AD, PKI melancarkan isu Dewan Jendral. Isu ini disebarluaskan melalui
anggota0anggota PKI yang aktif bekerja dalam berbagai lingkungan. Agar isu
ytersebut sampai kepada Presiden, maka salah seorang anggota PKI yang duduk
dalam DPR-GR bernama Soedjarwo Harjowisastro memberikan isu tersebut sebagai
informasi kepada Kepala Staf BPI (Badan Pusat Intelijen), Brigjend Pol Soetarto
yang juga merupakan anggota PKI.
Dikatakan bahwa Dewan Jendral
terdiri atas sejumlah Jendral TNI-AD, antara lain Jendral TNI A.H. Nasution,
Letjend TNI A. Yani, Mayjend TNI Soeprapto, Mayjend TNI S. Parman, Mayjend TNI
Haryono M.T, Brigjend TNI Sutoyo S, Brigjend TNI D.I Pandjaitan, dan Brigjend
TNI Sukendro yang mempunyai sikap antipati terhadap PKI.
Isu Dewan Jendral terus dilakukan
dalam bentuk desas-sesus yang memperburuk citra TNI-AD, dan seolah-olah Dewan
Jendral adalah kelompok Perwira Tinggi TNI-AD yang tidak loyal kepada Presiden
dan mempunyai kegiatan politik menilai kebijaksanaan Presiden.
Oraganisasi-organisasi yang bernaung dibawah PKI digunakan sebagai sarana untuk
menyebar luaskan isu tersebut, dan mulai terdengar bulan Mei 1965.
Lingkup penyebaran isu Dewan Jendral
adalah sebagai berikut:
- Penyebarluasan isu yang menyatakan tentang adanya Dewan Jendral didalam tubuh TNI-AD yang mempunyai tugas khusus memikirkan usaha-usaha dalam rangka menghadapi kegiatan yang bersifat “kiri[17]”. Dengan isu tersebut, PKI ingin menciptakan kesan bahwa TNI-AD merupakan kekuatan yang bersifat “Kanan” yang anti PKI.
- Diisukan bahwa Dewan jendral yang disebut sebagai kekuatan kanan mempunyai tujuan yaitu meniklai kebijaksanaan Presiden selaku Pemimpin Besar Revolusi. Pda lingkup ini PKI ingin memberi kesan bahwa Dewan Jendral adalah sebuah badan dalam TNI-AD yang tidak dapat dijamin loyalitasnya kepada BPR. Tujuannnya adaah menhgadu domba antar TNI-AD dengan Presiden
- Diberitakan Dewan Jendral bekerjasama dengan imperalis, dalam rangka upaya PKI meyebarluaskan kesan kepada masyarakat seolah-olah TNI-AD telah mengkhianati perjuangan rakyat Indonesia. Isu ini semakin berkembang dengan tersiarnya “dokumen Gilchirst[18]” pad bulan Mei 1965
- Pada sekitar awal bulan september 1965 dilancarkan isu bahwa Dewan Jendral akan merebut kekuasaan dari presiden Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah uang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pad tanggal 5 Oktober 1965. Kemudian, untuk lebih meyakinkan masyarakat mengenai kebenarannya, PKI telah menciptakan Isu Kabinet Dewan Jendral sebgai berikut:
1)
Perdana
Menteri
:Jendral TNI A.H. Nasution
2)
Wakil PM/Menteri Pertahanan : Letjend TNI A. Yani
3)
Menteri Dalam
Negeri
: Hadisubeno
4)
Menteri Luar
Negeri
: Roeslan Abdulgani
5)
Menteri Hubungan Dagang LN: Brigjend TNI Sukendro
6)
Menteri Jaksa
Agung
: Mayjend S. Parman
- Dalam rangka menyiapkan Gerakan 30 September, biro khusus secara intensif mempengaruhi iknum-oknum anggota ABRI yang telah dibinanya dengan Brifing-Brifing situasi politik, yang intinya :
1) Ada
Dewan Jendral yang akan mengadakan perebutan kekuasaan dari Presiden
2)
Perlu ada gerakan m iliter untuk mendahului rencana Dewan Jendral tersebut
Bentuk pengembangan isu Dewan
Jendral menjadi rencana matang akan adanya perwira-perwira yang berpikiran maju
mendahului rencana Dewan Jendral.
- Isu Dokumen Gilchrist
Bersamaan dengan penyebarluasan isu
Dewan Jendral tersiar pula isu adanya Dokumen Gilchrist. Gilchrist, yang
bernama lengkap Sir Andrew Gilchirst adalah duta besar Inggris di jakarta yang
bertugas pada tahun 1963-1966. Dokumen Gilchrist diterima oleh Dr.
Soebandrio pada tanggal 15 Mei 1965 melalui pos jakarta berupa sebuah konsep
surat ketikan tanpa adnya tanda tangan atau paraf si pembuat melainkan hanyalah
sebuah nama Gilchrist . dalam surat pengantarnya dituliskan bahwa apa
yang disebut surat Gilchrist itu diperoleh dari rumah peristirahatan William
(Bill) Palmer di puncak sewaktu diadakan pengobrak-abrikan oleh massa atas
rumah gtersebut.
Pada tanggal 26 Mei 1965 Dr.
Soebandrio membawa konsep Gilchrist serta beberapa salinannya ke Istana
Merdeka danm melaporkannya kepada Presiden. Segera setelah membaca surat
tersebut, presiden memerintahkan pemanggilan para panglima Angkatan kedalam
Istana Negar. Dalam pertemuan tersebut menaggapi pertanyaan Presiden,
Men/Pangad Letjend A. Yani menerangkan bahwa dalam AD tidak ada Dewan Jendral
yang bertugas menilai kebijaksanaan politik presiden; yang ada adala Dewan
Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) AD, yang bertugas memberikan saran
atau pendapat kepada Men/Pangad tentang jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi
AD.
Dalam pidatonya pada HUT PKI ke-45,
Dr. Soebandrio menyatakan bahwa dokumen imperialis/CIA telah jatuh ketangan
kita dan sekarang berada di tangan PBR(Pemimpin Besar Revolusi). Olehnya
kemudian salinan Dokumen Gilchrist itu kemudian dibagi-bagikan di luar
negeri, antara lain kepda delegasidelegasi yang hadir pad KAA II di Aljazair,
sedangkan didalam negeri salinan surat tersebut disebarluaskan oleh
BPI(Badan Pusat Intelijen). Sementara itu, HUT PKI dirayakan secara
besar-besaran dengan puncaknya pada rapat raksasa di gelora senayan tanggal 23
Mei 1965. Peringatan secara besar-besaran ini merupakan suatu pameran kekuatan
yang dilakukan ditengah suasana politik yang semakin memanas.
3. Aksi
Bersenjata Gerakan 30 September Pada Awal Oktober 1965
Di Jakarta, tanggal 1 Oktober 1965
sekitar pukul 01.30 letkol Inf. Untung dengan diikuti Sjam, Pomo,
Brigjend TNI Soepardjo dan Kolonel Inf. A. Latief tiba di lubang buaya. Ia
memberikan perintah pelaksanaan kepda semua komandan pasukan agar segera
berangkat menuju ke sasaran masing-masing yang telah ditetapkan.
- Pembagian Tugas Pasukan Penculik
- Pasukan Pasopati
Tugas Pasukan Pasopati adalah
menculik para Jendral Pimpinan TNI-AD dan membawanya ke Lubang Buaya. Kekuatan
bersenjata yang tergabung dalam Pasukan Pasopati terdiri atas satu Batalyon
Infanteri (minus) dari Brigare Kolonel Inf. A. Latief, satu Kompi Cakrabirawa
dari Batalyon pimpinan Letkol Inf. Untung. Satu pleton dari batalyon infantri pimpinan
Mayor Inf. Sukirno/kapten inf. Kontjoro, dan pleton-pleton sukwan PKI
Lettu Inf. Dul Arief yang bertinfak
sebagai pimpinan pasukan Pasopasti segera mengumpulkan pasukan dalam formasi
yang telah ditentukan;
a)
Pasukan yang ditugasi menculik Jendral TNI A.H Nasution dibawah pimpinan Pelda
Djahurup, anak buah letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu kompi pasukan
bersenjata dan stu pleton sukwan PKI.
b)
Pasukan yang ditugasi Letjen TNI A. Yani di bawah Pimpinan Peltu Mukidjan, anak
Buah Kol.Inf. A. Latief, dengan kekuatan satu kompi pasukan bersebjata dan dua
regu Sukwan PKI
c)
Pasukan yang ditugasi menculik Mayjend TNI S. Parman di bawah pimpinan Serma
Satar, anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu
kelompok Sukwan PKI
d) Pasukan
yang ditugasi menculik Mayjend TNI Soeprapto dibawah pimpinan Serda sulaiman,
anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu kelompok
Sukwan PKI
e)
Pasukan yang ditugasi menculik Mayjend TNI Haryono MT dipimpin oleh Serma
Bungkus, anak buah Letkol Inf. Untug, dengan kekuatan satu pleton dan kelompok
Sukwan PKI
f)
Pasukan yang ditugasi menculik Brigjend TNI Sutojo S. dipimpin oleh Serma
Sarono, anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan satu pleton dan satu
kelompok Sukwan PKI
g)
Pasukan yang ditugasi menculik Brigjend TNI D.I Pandjaitan dipimpin oleh
Serda Sukardjo, anak buah Kapten Inf. kuntjoro, dengan kekuatan satu pleton dan
satu kelompok Sukwan PKI.
- Pasukan Bimasakti
Kekuatan bersenjata yang
dialokasikan kepada Pasukan Bimasakti terdiri atas satu Batalyon Infanteri di
pimpin oleh Mayor Inf. Bambang Supeno, dan satu batalyon Infanteri yang
dipimpinn oleh Kapten Inf. Kuncoro, empat Batalyon sukwan PKI, dan satu Kompi
Infanteri pimpinan Kapten Inf. Suradi berasal dari Briginf pimpinan Kol.Inf A.
Latief. Pasukan ini bertugas pokok menguasai kota Jakarta yang telah dibagi
menjadi enam sektor, yaitu;
a)
Sektor Jakarta Pusat/kompleks istana Kepres
b)
Sektor Jatinegara
c)
Sektor Senen dan Kemayoran
d) Sektor
Tanjung Priok
e)
Sektor Kemayoran Lama
f)
Sektor Grogol
Sejak dini hari, jum’at tanggal 1
Oktober 1965 pasukan ini telah menduduki dan menguasai objek-objek penting di
sekitar Monas. Objek-objek yang penting dalam sarana komunikasoi juga
telah dikuasai seperti gedung RRI Jakarta dan Gedung Telekomunikasi Jakarta
Pusat
- Pasukan Gatotkaca
Kekuatan bersenjata yang tergabung
dalam pasukan gatotkaca terdiri atas satu batalyon pimpinan Mayor Uadara
Soejono dan pasukan sukwan dan Sukawati PKI. Satuan ini berfungsi sebagai
pasukan cadangan yang bertugas menampung tawanan hasil penculikan dan melakukan
pembunuhan serta menguburkan korban-korban hasil penculikan.
- Aksi Penculikan
1)
Usaha Penculikan Terhadap Jendral TNI A.H. Nasution
Pasukan yang ditugasi menculik
Jendral TNI A.H Nasution dibawah pimpinan Pelda Djahurub dengan berkendaraan
truk berangkat dari Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul
03.00 menuju ke kediaman Jendral A.H Nasution di jalan Teuku Umar 40 Jakarta.
Ketika pasukan penculik melewati kediaman Dr.Leimena yang berdekatan dengan
kediaman Jendral A.H. Nasution yaitu di Jalan Teuku Umar 36 Jakarta mereka
membunuh pengawal yang bertugas di tempat kediaman Dr.Leimena yaitu Ajun
Inspektur Polisi Karel Satsuit Tubun.
Ibu Nasution ketika mengetahui ada
sejumlah orang bersenjata masuk secara paksa kedalam rumah, segera mengunci
pintu kamar dan memberitahu Jendral A.H. Nasution tentang datangnya orang-orang
berseragam yang mungkin bermaksud tidak baik. Beliau kurang yakin akan
keterangan isterinya itu dan segera membuka pintu kamar. Ketika melihat pintu
dibuka, anggota penculik segera melepaskan tembakan kearahnya, dan seketika itu
beliau menjatuhkan diri kelantai, dan isterinya cepat-cepat menutup dan mengunci
kamar kembali. Tembakan pasukan penculik diarahkan langsung ke daun pintu
kamar.
Sementara itu, Ade Irma Suryani
putri bungsu mereka yang berumur 5 tahun oleh pengasuhnnya dilarikan keluar
kamar dengan maksud hendak diselamatkan, tetapi seorang penculik melepaskan
tembakan otomatis dan mengenai punggung Ade Irma Suryani. Jendral A.H. Nasution
didorong oleh isterinya untuk keluar dari kamar melalui pintu samping dan
menuju ke pagar tembok. Sambil menggendong Putri bungsunya yang terluka, Ibu
Nasution menghadapi para penculik yang sudah nberada diruang tengah. Dan dengan
memanjat dinding tembok samping rumah, Jendral A.H. Nasution berhasil melarikan
diri.
Salah seorang ajudan Jendral A.H
Nasution, yakni Lettu Czi Pierre Andreas Tendean yang malam itu menginap di
paviliun, terbangun karena kegaduhan di luar kamar. Kemudian ia keluar kamar
untuk memeriksa apa yang terjadi, tetpi ia ditangkap oleh gerombolan penculik
dan diseret kesalah satu kendaraan. Setelahnya pasukan penculik itu
meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke Lubang Buaya.
2)
Penculikan Terhadap Letjend TNI A. Yani
Pausukan yang bertugas menculik
Men/Pangad Letjend TNI A. Yani dipimpin oleh Peltu Mukidjan berangkat dari
Lubang Buaya pukul 03.00 tanggal 1 Oktober 1965. Setiba dirumah Latjend TNI
A.Yani di jalan Latuharhary 6 Jakarta, beberapa anggota penculik segera masuk
pekarangan rumah. Regu pengawal yang sama sekali tidak menaruh curiga atas
kedatangan mereka seketika itu dilucuti. Sebagian pasukan penculik menuju
kekediaman Letjend A.Yani dan mengetuk pintu yang dibukakan oleh seorang
pembantu, Isteri A. Yani malam itu sedang berada di kediaman resmi Men/Pangad
di Taman Suropati. Sementara puteri kedua Letjend A. Yani terbangun
mendengar adanya keributan, tetapi tidak berani keluar kamar. Yang keluar dari
kamarnya adalah putera beliau yang berumur 11 tahun, yang segera membagunkan
ayahnya, dan belaupun keluar dari kamarya.
Salah seorang anggota pasukan
penculik menyampaikan berita baahwa beliau dipanggil Presiden. Ketika beliau
menjawab bahwa hendak mandi dan berpakaian terlebih dahul, salah satu dari
penculik melarangnya sambil menodongkan senjatanya. Melihat sikap kuran ajar
anggota penculik tersebut beliau sangat marah dan memukulnya hingga jatuh.
Beliau membalik dan hendak menutup [pintu kaca yang menghubungkan ruang
belakang dengan ruag makan, tetapi seketika itu Serda Gijadi, salah seorang
anggota penculik menembakkan senjata Thompson dari belakan dan tujuh butir
peluru menembus tubuh Letjend A. Yani sehingga beliau terjatuh dan roboh. Praka
Wagimin menyeret Letjend A. Yani yang berlumuran darah keluar dari kediamannya
dan dimasukkan kedalam kendaraan, dan mereka kembali menuju kw Lubang Buaya.
3)
Penculikan Terhadap Mayjend TNI Soeprapto
Pasukan yang bertugas menculik Mayjend
TNI Soeprapto di pimpin oleh Sarda Sulaiman. Berangkat dari Lubang Buaya
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. pasukan penculik ini mamasuki halamn rumah
Mayjend Soeprapto di jalan Besuki 19, Jakarta dan mengetuk pintu. Beliau
terbangun dan setelah pasukan penculik menyatakan dari Cakrabirawa, beliau
keluar dari kamarnya dan membuka pintu. Diteras sudah menunggu beberapa
paasukan penculik. Serda Sulaiman mengatakan bahwa Mayjend Soeprapto
diperintahkan untuk menghadap presiden dengan segera. Oleh beliau diperintahkan
untuk menunggu karena akan berganti pakaian. Para penculik melarangnya dengan
kasar, bahkan mendorong serta memaksanya keluar. Beberapa orang penculik
memegangi tangannya dan menaikkannnya dengan paksa ke dalam sebuah truk.
Kemudian mereka kemabli menuju ke Lubang Buaya.
4)
Penculikan Terhadap Mayjend S. Parman
Pasukan yang bertugas menculik
Mayjend TNI S. Parman di pimpin oleh Serma Satar. Berangkat dari Lubang Buaya
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. pasukan penculik ini mamasuki kediamannya
di jalan Samsurizal 32, Jakarta. Mereka memasuki pekarangan rumah dengan
melompat pagar. Karena keributan itu Mayjend S. Parman terbangun dan menduga
ada perampokan dirumah tetangganya. Beliau keluar kamar dengan maksud memberi
bantuan . ketika membuka pintu depan, diluar telah menunggu para paenculik yang
mengatakan bahwa beliau dipanggil oleh Presiden. Beliau mengattakan akan
memenuhi panggilan tersebut dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dua
orang penculik mengikutinyab dari belakang. Beliau minta agar mereka menunggu
di ruang tengah saja, tetapi mereka tidak mengindahkannya.
Ibu S. Parman mulai curiga akan
tingka laku mereka yang demikian kasar. Beliau menanyakan surat perintah
panggilan dari Iatana Presiden, seorang menjawab bahwa surat perintah tersebut
ada pad Pelda Yanto di luar. Usaha Ny. S. Parman untuk melihat surat printah
tersebut tidak berhasil. Karena surat peintah itu memang tidak pernah ada.
Bahkan beliau ditodong dengan sangkur. Dengan berpakaian lengkap Mayjend S.
Parman kluar kamar, sambil melangkah beliau meminta kepada istrinya agar
menelpon letjend A. Yani, untuk melaporkan kejadian tersebut. Ternayata
kabel telepone telah diputus. Mayjend S. Parman dimasukkan kedalam kendraan
pasukan penculik dan dibawa ke Lubang Buaya.
5)
Penculikan Terhadap Mayjend TNI Haryono MT
Pasukan yang bertugas menculik
Mayjend TNI Haryono MT di pimpin oleh Serma Bungkus. Berangkat dari Lubang
Buaya Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. setibanya di kediaman Mayjend Haryono
MT di jalan Pramabanan 8, Jakarta. Serma Bungkus memberi tahu Ny. Haryono bahwa
Mayjend Haryono dipanggil oleh Presiden. Ny. Haryono yang tidak menaruh curiga
kepada mereka kemudian membangunkan Mayjend Haryono, beliau menaruh curiga dan
melaui Isterinya beliau meminta agar kembali lagi sektar pukul 08.00.Serma
Bungkus memaksa agar beliau berngakat pad malam itu juga. Kerena menyadari
sesuatu hal yng tidak wajar beliu meminta kepda isteri dan anak-anaknya pindaah
kekamar sebelah. Sementar itu Serma bungkus dan beberapa anggota penculik
berteriak-teriak meminta agar beliau keluar.
Kerena beliau tidak memenuhi
permintaan tersebut, mereka melepaskan tembakan ke pintu yang terkunci. Pintu
terbuka dan mereka memasuki kamar tidur. Pada saat beliau berusaha merebut
senjata salah seorang anggota penculik, tetapi gagal dan bersamaan denga itu
beliau dtusuk beberapa kali dngan sangkur. Beliau roboh bermandikan darah dan
kemudian diseret keluar dan dimasukkan kjedala truk lalu kemabli ke
lubang buaya.
6)
Penculikan Terhadap Brigjend TNI Sutojo S
Pasukan yang bertugas menculik
Brigjen TNI Sutjoo di pimpin oleh Serma Surono. Berangkat dari Lubang Buaya
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00.. sebagian anggota penculik memasuki bagian
belakang rumah kediaman beliau di jalan Sumenep 17, Jakarta mlaui garasi
sebelah kana. Dengan todongan sangkur mereka meminta kepada pembantu untuk
menyerahkan kunci pintu yang menuju ke kamar tengah, setelah mmembuka pintu,
penculik menerobos masuk dan mngatakan kepada Brigjend Sutojo, bahwa beliau di
panggil presiden, kemudin para penculik membawa beliau dengan paksa keluar
rumah dan membwanya ke Lubang Buaya.
7)
Penculikan Terhadap Brigjend TNI D.I Pandjaitan
Pasukan yang bertugas menculik
Brigjend di pimpin oleh Serda Sukardjo. Berangkat dari Lubang Buaya
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00. para penculik membuka pintu kediamannya
yang berada di Jalan Hasannudiin 53 jakarta dengan paksa, kemudian menembak
kedua keponkan beliau yang saat itu sedang tidur dilantai atas. Salah
seorang diatanratanya tewas, setelah itu para penculik berteriak memanggil
Brigjend D.I Panjaitan agar keluar untuk menghadap presiden. Semula beliau
tidak mau keluar, tetapi karena adanya ancaman dari para penculik yang akan
membunuh seisi rumah jika tidak mau keluar, maka beliau keluar dan menuruni
tangga dengan mengenakan pakaian seragam lengkap.
Setiba dihalaman, beliau tidak dapat
menahan amarahnya atas sikap para anggota pasukan penculik terhadapnya. Beliau
dipukul dengan popor senjata hingga jatuh. Pada saat itu juga dua orang anggota
penculik yang lain menembaknya dengan senjata otomatis.
D.I Panjaitan gugur pada saat itu
juga dan jenazahnya dimasukkan dalam satu kendaraan yang telah disediakan.
Sementa itu, seorang anggota polisi berpangkat agen polisi ( Bharada) Sukitman
yang sedang melaksanakan tugas patroli, karena mendengar letusan senjata api,
mendatangi tempat kejadian. Setibanya ditempat itu ia langsung ditangkap oleh
para penculik dan ikut dibawa pula ke Lubang Buaya.
- Konsolidasi Pelaksanaan Penculikan
- Penyerahan hasil penculikan
Seluruh korban penculikan dibawa ke
Lubang Buaya dan diserahkan kepada pasukan Gatotkaca. Lettu Inf. Dul Arief
selaku pimpinan Pasukan Pasopati segera meninggalkan Lubang Buaya sekitar pukul
06.30 menuju Cenko I di gedung Penas untuk melaporkan hasil penculikan serta
lolosnya Jenderal TNI A.H Nasution dari usaha penculikan tersebut. Hadir pada
saat pelaporan itu para pimpinan pelaksana Gerakan 30 September, yakni Sjam,
Pono, Kolonel Inf. A. Latief, Letkol Inf. Untung, Letkol Udara heru Atmodjo,
Mayor Udara Sujono.
Beberapa saat kemudian datang
Brigjen Soepardjo, Mayor Inf Soekirno, dan Mayor Inf Bambang Soepeno. Ketiga
perwira ini bersama Lettkol Udara Heru Atmodjo kemudian atas perintah Sjam
berangkat ke Istana Merdeka untuk melapor, menjemput, serta membawa presiden
Soekarno kepangkalan halim Perdana Kusumah.
- Penyiksaan dan Pembunuhan
Sesuai dengan fungsinya sebagai
komandan pasukan cadangan, Mayor Udara Gathut Soekrisno telah menyusun
kedudukan pertahanan. Kepada satuan-satuan dibagikan peralatan dan perlengkapan
berupa pakaian dan senjata. Oleh karena senjata yang tersedia dianggap belum
mencukupi, ia memerintahkan Serma Udara Maoen membongkar dengan paksa gudang
senjata milik Korud V yang terletak di Mampang Prapatan. Pembongkaran dilakukan
pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 02.30.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar
pukul 05.30 pasukan Gatotkaca dibawah pimpinan Mayor Udara Gathut Soekrisno
menerima hasil penculikan dari pasukan Pasopati. Sementara itu sejak pukul
05.00 para Sukuan PKI yang diantarany terdapat para Sukwati Gerwani, menunggu
datangnya kendaraan yang membawa para korban penculikan di dekat sebuah sumur
tua dibasis gerakan mereka daerah Lubang Buaya. Korban penculikan terdiri atas
empat orang yang matanya ditutup dengan kain merah dan tangannya diikat
kebelakang, serta tiga orang lainnya dalam keadaan meninggal.
Keempat orang yang masih hidup itu
disiksa hingga akhirnya mninggal. Selanjutnya sukwan-sukwan PKI melemparkan
korban itu ke dalam sumur. Sumur itu ditimbun dengan sampah dan tanah yang
kemudian diatasnya ditanami pohon pisang untuk menghilangka jejak.
4.
Kekacaubalauan Pengendalian Oleh CC PKI
Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar
pukul 01.30 Letko Inf Untung diikuti oleh anggota Cenko lainnya pergi ke Lubang
Buaya. Setelah terlebih dahulu menjemput Kolonel Inf. A. Latiet di Cawang untuk
selanjutnya meneliti persiapan akhir serta menyampaikan perintah-perintah dalam
rangka gerakan yang akan segera dilaksanakan.
Setelah gerakan militer untuk
menculik dan membunuh para perwira tinggi TNI AD selesai dilaksanakan, maka
Sjam yang berada di Cenko I selaku pimpinan pelaksana gerakan, memerintahkan
Mayor Udara Sujono untuk segera melaper pada ketua CC PKI D.N. Aidit yang
berada di rumah Sersan Udara Suwardi. Selanjutnya Sjam memerintahkan Brigjen
TNI Soeparjdo bersama Letkol Heru Atmojdo, Mayor Inf Soekirno, dan Mayor Inf
Bambang Soepeno untuk segera berangkat ke istana Merdeka dengan tugas melapor
kepada presiden Soekarno tentang adanya gerakan dari perwira-perwira muda TNI
AD untuk menyelamatkan revolusi dari kudeta Dewan Jenderal. Nada ucapan Sjam
kepada Soepadjo mengandung perintah bahwa, apabila perlu, membawa presiden
Soekarno dengan paksa ke Halim Perdana Kusuma.
Sesuai dengan petunjuk D.N. Aidit
selaku pimpinan tertinggi G 30 S, setelah berakhirnya siaran warta berita RRI
Jakarta pukul 07.00 pada tanggal 1 Oktober 1965 telah disiarkan pengumuman
pertama tentang adanya G 30 S. Sesudah pengumuman pertamaa berhasil disiarkan,
pada sekitar pukul 14.00 Letkol Inf Untung mengumumkan lewar RRI Jakarta :
- Dekrit No. I tentang pembentukan dewan Revolusi Indonesia;
- Keputusan No. I tentang susunan Dewan Revolusi Indonesia; dan
- Keputusan No. 2 tentang penurunan dan kenaikan pangkat.
Nama-nama yang tecantum dalam
susunan Dewan Revolusi Indonesia tersebut merupakan gabungan antara nama
tokoh-tokoh PKI dan nama tokoh-tokoh yang bukan pendukung PKI. Nama tooh yang
bukan pendukung PKI pada dasarnya merupakan manipulasi PKI, karena yang
bersangkutan sama sekali tidak tahu menahu dan bahkan tidak menyetujui G 30 S
tersebut.
Dengan demikian, Dewan Revolusi yang
dibentuk oleh G 30 S merupakan upaya PKI untuk menipu rakyat dengan
memanipulasi nama tokoh-tokoh, baik politik, masyarakat maupun ABRI yang anti
komunis. Sekitar pukul 09.00 karena hari telah siang dan ternyata di Gedung
Penas banyak pekerja Cenko I ditinggalkan oleh pimpinan Dewan Rewalusi daan
pindah ke Cenko II, di rumah Sersan Udara Anis Suyatno. Brigjen Soepardjo yang
ditugasi untuk menghadap presiden ternyata tidak berhasil menemui beliau di
Istana Merdeka. Letkol Udara Heru Atmodjo kemudian kembali ke Halim
Perdanakusuma dan dari Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani ia mengetajui bahwa
Presiden menuju Halim Perdanak. Kemudian, atas perintah men/Pangau Laksdya
udara Omar Dhani, Brigjend TNI Soepardjo dijemput oleh Letkool Udara Heru
Atmodjo dari istana menuju Halim Perdanakusuma dengan menggunakan helikopter.
Presiden dengan kemauan beliau tiba dipangkalan Udara Halim Perdana Kusuma
sekitar pukul 09.00 melauli jalan darat. Brigjend TNI soepardjo melaporkan
kepada Persiden bahwa ia dan kawan-kawan telah mengambil tidakan terhadap
perwira tinggi Peimpinan TNI-AD.
Pada tengah hari Brigjend Soepardjo
kembali ke Cenko II sambil membawa perintah presiden yang intinya agar
menghentikan gerakan dan jangan ada pertumpahan darah. Perintah itu kemudian
didiskusikan oleh pimpinan G30S yang berkumpul di Cenko II dan dalam diskusi
tersebut Sjam berpendapat bahwa perintah tersebut dapat menimbulkan suasana
ragu-ragu dikalangan pimpinan gerakan. Mengingat perintah tersebut tidak
menguntungkan G30S, maka di putuskan untuk tidak mematuhi perintah Presiden
tersebut. Sekitar pukul 18.00 Cenko II menerima laporan bahwa sebagian pasukan
G30S telah mundur ke Pondok Gede yang sejak semula ditetapkan sebagai daerah
pemunduran. Pada saat yang sama. Pada saat yang sama, diterima laporan bahwa
pasukan Kostrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat(RPKAD) telah bergerak
untuk menguasai pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Situasi semakintidak
menguntungkan bagi Gerakan 30 September ketika pukul 19.00 MayJend TNI Soeharto
menyampaikan pidato radio, yang intinya menjelaskan bahwa apa yang menyebut
dirinya Gerakan 30 September (G30S) adalah kegiatan pengkhianatan terhadap
Revolusi. Untuk sementara, sehubungan dengan belum jelasnya nasib Letjend TNI
A.Yani dan Pejabat-pejabat teras TNI-AD lainnya yang diculik oleh gerombolan
Gerakan 30 September, beliau bertindak sebagai pimpinan sementara TNI-AD.
Karena perkembangan baru ini, pimpinan Cenko II mengadakan pembicaraan
dan menyimpulkan bahwa gerakan telah gagal. Oleh karenanya, diputuskan
bahwa pimpinan G30S akan mundur kedaerah pemunduran terakhir, yaitu Pondok
Gede.
BAB IV
PENUMPASAN G30S/PKI DAN TUNTUTAN MASSA DALAM
PEMBUBARANNYA
1. TINDAKAAN
KOSTRAD
- Penilaian Panglima Kostrad
Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober
1965 pagi hari, setelah memperoleh informasi terjadinya penculikan dan
pembunuhan terhadap pimpinan TNI-AD , pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera
mengumpulkan staffnya di markas Kostrad, untuk mempelajari situasi. Dalam rapat
tersebut Pangkostrad belum mendapat gambaran yang lengkap dan jekas tentang
gerkan yang beru saja terjadi, serta belum mengetahui tempat presiden berada.
Setelah tampilnya Letkol Inf. Untung, seorang perwira menengah TNI-AD yang pernah
berdinas dalam jajaran Kodam VII/Doponegoro dan beliau ketahui sebagai anggota
PKI, dengan pengumuman pertamannya yang disiarkan setelah warta berita RRI
Jakarta pukul 07.00, maka Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto mempunyai keyakinan
bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkandan
merebut kekuasan dari Pemerintah RI yang sah.
- Operasi Penumpasan
Berdasarkan keyakinan itu,
Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk menumpas gerakan
pengkhiatan tersebut. Beliau segera mengkonsolidasikan dan menggerakkan
personil Markas Kostrad dan satuan-satuan lain di Jakarta yang tidak mendukung
Gerakan 30 September, disertai dengan usaha menginsyafkan kesatuan-kesatuan
yang digunakan oleh Gerakan 30 September. Imbangan kekuatan makin tidak
menguntukan pihak Gerakan 30 September, terutama setelah sebagian besar satuan
yang digunakan oleh beberpa perwira yang dibina PKI berhasil disadarkan dan
kembali menggabungkan diri kedalam Komando dan pengendalian Kostrad. Setelah pasukan-pasukan
yang dopengaruhi oleh G30S berhasil disadarkan, maka langkah selanjutnya adalah
merebut RRI Jakarta dan Kantor Besar Telkom yang sejak pagi-pagi diduduki oleh
pasukan Kapten Inf. Suradi yang berada dibawah komando Kolonel Inf. A. Latief.
Pada pukul 17.00 pasukan RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo
diperintahkan merebut kembali kedua objek penting tersebut dengan sejauh
mungkin menghindari pertumpahan darah.
Pada pukul 17.20 Studio RRI Jakarta
telah dikuasai oleh RPKAD dan bersamaan dengan itu telah direbut pula Kantor
Besar Telkom. Setelah diperoleh laporan bahwa daerah di sekitar pangkalan
Uadara Halim Perdanakusuma digunakan sebagai basis Gerakan 30 September,
operasi penumpasan diarahkan ke daerah tersebut. Perkembangan menjelang petang
tanggal 1 Oktober 1965 berlangsung dengan cepat. Pasukan pendukung G 30 S yang
menggunakan Pondok Gede sebagai basis segera menyadari adanya situasi yang
semakin tidak menguntungkan gerakannya. Situasi menjadi semakin gawat bagi
pasukan G 30 S setelah Presiden memerintahkan secara lisan kepada Brigjen TNI
Soepadjo agar pasukan-pasukan yang mendukung G 30 S menghentikan pertummpahan
darah.
Setelah RRI berhasil dikuasai
kembali oleh RPKAD, pada pukul 19.00 Mayjen TNI Soeharto selaku pimpinan
sementara AD menyampaikan pidato radio yang dapat ditangkap diseluruh wilayah
tanah air. Dengan bukti-bukti siaran G 30 S melalui RRI Jakarta Soeharto
menjelaskan bahwa telah terjadi tindakan pengkhianatan oleh apa yang menamakan
dirinya Gerakan 30 September. Selanjutnya dijelaskan bahwa G 30 S telah
melakukan penculikab terhadap beberapa Perwira Tinggi TNI-AD, sedangkan
Presiden dan Menko Hankam/Kasab Jendral TNI A.H. Nasution dalam keadaan aman.
Situasi Ibu Kota Negara telah dikuasai kembali dan telah dipersiapkan
langkah-langkah untuk menumpas G 30 S tersebut. Untuk sementara pimpinan AD
dipegang oleh Soeharto. Pidato Pangkostrad tersebut dapat menentramkan hati
rakyat yang seharian penuh diliputi suasana gelisah dan tanda tanya.
Pasukan pendukung G 30 S setelah
melakukan perlawanan lebih kurang setengah jam, pada tanggal 2 Oktober
1965 pukul 14.00 menghentikan perlawanannya dn melarikan diri dari Pondok Gede.
- Ditemukannya Tempat Penguburan Para Korban Penculikan di Lubang Buaya
Dengan hancurnya kekuatan fisik G 30
S / PKI di Ibu Kota operasi dilanjutkan untuk mengetahui nasib para korban
penculikan. Sukitman, anggota polisi yang ditangkap pasukan penculik pada saat
dilakukannya penculikan terhadap Brigjen TNI D.I. Panjaitan, yang berhasil
melarikan diri melaporkan kepada pasukan keamanan bahwa ia menyaksikan sendiri
penyiksaan dan membunuhan yang dilakukan terhadap korban penculikan. Atas
perintah Mayjen Soeharto dengan bantuan Sukitman tanggal 3 Oktober 1965 sekitar
17.00 dapat ditemukan timbunan tanah dan sampah yang diperkirakan sebagai
tempat penguburan kemudian dilakukan penggalian terhadap timbunan tanah dan
sampah tersebut yang ternyataa adaalah sebuah sumur tua. Hasil penggalian
membenarkan bahwa sumur tua tersebut ditemukan tanda-tanda adanya janazah
sesuaai dengan laporan Sukitman. Atas perintah Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo,
penggalian timbunan tanah dihentikan karena mengalami kesulitan teknis, dan
lagi hal tersebut perlu dilaporkan terlebih dahulu kepada Mayjen Soeharto.
Keesokan harinya, setelah mendapat laporan tentang ditemukannya tempat yang
kemmungkinan besar menjadi tempat para korban penculikan dikubur, Mayjen
Soeharto kemudian menuju sumur tua itu yang berada dilingkuangan kebun karet
didaerah Lubang Buaya. Atas perintah Soeharto penggalian mulai dilakukan, yang
pelaksanaan teknisnya dilakukan oleh anggota kesatuan Intai para Ampibi (KIPAM)
dari KKU AD ( Marinir) bersama-sama anggota RPKAD dengan disaksikan kembali
oleh mayjen Soeharto. Dalam sumur tua tersebut ditemukan jenazah semua korban
penculikan yang berjumlah tujuh orang, Letjen TNI Ahmad yani, Mayjen TNI
Soeprapto, Mayjen TNI S. Parman, mayjen TNI Harhono M. T, Brigjen TNI D. I
Panjaitan, Brigjen TNI Soetojo S, serta Lettu Czi Pierre Andreas Teendean.
Dengan telah ditemukannya seluruh korban penculikan dalam keadaan meninggal,
Soeharto menyampikan pidato yang kemudian di siarkan oleh RRI Jakarta tanggal 4
Oktober 1965 sekitar pukul 20.00. dalam pidato tersebut Soeharto mengatakan
bahwa dengan kesaksian beliau sendiri secara langgsung telah berhasil
ditemukaan jenazah 6 orang jendral dan seorang Perwira pertama yang
menjadi korban penculikan Gerakan 30 September.
Ketujuh jenazah tersebut dikubur
dalam sebuah sumur tua di ddaerah Lubang Buaya, tempat pelatihan sukwan-sukwati
pemuda Rakyat dan Gerwani. Hal itu terbukti dari pengakuan seorang anggota
Gerwani yang berasal dari Jawa Ten gah yang pernah dilatih ditempat tersebut
dan tertangkap di Cirebon.
Setelah dirawat sebagaimana
mestinya, para korban fitnah dan pembunuhan G 30 S kemudian disemayamkan diaula
markas Besar TNI AD jakarta. Keesokan harinya pertepatan dengan HUT ke 20 ABRI,
tanggal 5 Oktober 1965 dengan upacara kebesaran militer jenazah para putra
terbaik bangsa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Jendral TNI A.H Nasution
bertindak selaku inspektur upacara. Dalam pidato pengantar jenazah para
pahlawan itu, Menko Hankam/Kasab dengan terbata-bata dan penuh kesedihan
menyatakan bahwa hari angkatan bersenjata tanggal 5 Oktober adalah hari yang
selalu gemilang, tetapi pada hari itu telah dihinakan oleh pengkhianatan dan
penganiayaan para perwira tinggi TNI AD. Beliau juga mengatakan bahwa fitnah
terhadap ABRI merupakan perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan dan
mengajak segenap prajurit TNI untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan
tersebut dengan meminta kepada rakyat agar ikhlas melepas para pahlawan
tersebut menghadap Tuhan YME.
Disepanjang jalan iring-iringan
jenazah para pahlawan Revolusi itu, ratusan ribu rakyat mengantarkannya sebagai
perwujudan rasa hormat, belasungakawa dan simpati.
2. TUNTUTAN
MASSA DALAM PEMBUBARAN PKI
- 1. Reaksi Partai Politik dan organisasi Massa
Kenyataan menunjukkan bahwa setelah
tersiar adanya G 30 S melalui studio RRI Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965,
baik parpol maupun ormas belum menentukan sikap karena sama sekali tidak
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan latar belakangnya. Mereka belum
mempunyai pedoman untuk menanggapinya. Situasi maupun kondisi sosial politik
pada saat itu memaksa mereka bertindak sangat cermat sekali agar sikap yang
mereka ambil jangan sampai menimbulkan kerugian politis bagi partai atau
golongan.
Baru setelah mendengar siaran
langsung pidato Soeharto ditempat ditemukannya para korban penculikan pada
tanggal 4 Oktober 1965 dan siaran upacara pemakaman para pahlawan Revolusu
tanggal 5 Oktober 1965, keluarlah pernyataan-pernyataan dan ormas yang umumnya
bernada sebagai berikut:
- Mengucap syukur atas terhindarnya presiden Soekarno dari bahaya;
- Tetap berdiri penuh di belakang presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
- Mengutuk pemberontakan dan pengkhianatan G 30 S
- 2. Tindakan Spontan Massa terhadap PKI
Setelah diperoleh tanda-tanda yang
semakin jelas bahwa PKI adalah dalang dari pelaku Gerakan 30 September,
mulailah terjadi aksi-aksi spontan berbagai kelompok massa pemuda, mahasiswa
dan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 mulai terjadi aksi-aksi massa menyerbu
gedung-gedung kantor PKI serta ormas-ormasnya. Aksi-aksi massa tersebut terjadi
diberbagai daerah dan tempat-tempat dimana terdapat basis-basis kekuatan PKI
disitu terjadi suasana tegang dan konflik fisik.
Sementara itu tanggal 8 Oktober 1965
di taman Suropati Jakarta, partai politik dan berbagai organisasi massa
melakukan apel kebulatan tekad untung mengamankan Pancasila. Apel kebulatan
tekad tersebut juga mendesak Presiden untuk membubarkan PKI beserta ormas
pendukungnya, membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta lembaga-lembaga
negara lainnya dari unsur-unsur G 30 S/PKI.
Kegiatan penindakan terhadap PKI
yang semula hanya timbul secara spontan dari masing-masing golongan masa,
pemuda, mahasiswa dan pelajar kemudian menjadi lebih luas. Pada tanggal 2
Oktober 1965 berbagai partai politik yaitu NU, IPKI, Partai Katolik, Parkindo,
PSII, unsur-unsur perti, dan unsur-unsur PNI, serta ormas-ormas aanti komunis
seperti Muhamadiyah, SOSKI, dan lain-lain membentuk dan begabung menjadi fron
Pancasila.
Dengan memperhatikan munculnya
suasana yang sama dilingkungan mahasiswa dalam menuntut pembubaran PKI dan
menyerbu gedung-gedung PKI, tanggal 25 Oktober 1965 Menteri perguruan Tinggi
dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), Brigjen TNI dr. Syarif Thayeb, memanggil beberapa
tokoh dari organisasi mahasiswa. Beliau mengatakan bahwa untuk menghadapi
gerakan komunis, para mahasiswa agar tidak bergerak sendiri-sendiri tetapi
terpadu dalam satu kesatuan aksi. Dan menganjurkan kepada mahasiswa agar
membentuk Gerakan Mahasiswa yang terpadu dengan nama “ Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia” (KAMI). Sejak saat itulah terbentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia yang kemudian diikuti oleh munculnya berbagai kesatuan aksi lainnya.
Kesatuan-kesatuan aksi ini tergabung dalam Badan Koordinasi Kesatuan Aksi. Pada
tanggal 31 Desember 1965 BKKA dan Fron Pancasila menandatangani naskah
deklarasi mendukung pancasila, yang bertujuan menggalang persatuan antara
rakyat dan ABRI sebagai Dwi Tunggal dalam mengamalkan ideologi pancasila secara
murni serta menolak usaha pembelaan terhadap Gerakan 30 September dalam bentuk
apapun.
- 3. Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)
Janji yang berulang kali diucapkan
Presiden Soekarno untuk memberikkan penyelesaian politik yang adil terhadap
pemberontakan G-30-S/PKI belum juga diwujudkan. Sementara itu, gelombang
demonstrasi menuntut pembubaran PKI kian keras dan bertambah luas. Situasi yang
menjurus kearah konflik politik tersebut bertambah lagi dengan munculnya rasa
tidak puas terhadap kesdaan ekonomi negara.
Dalam keadan serba tidaak puas dan
tidak sabar, akhirnya tercetuslah Tri-Tuntutan hati Nurani Rakyat, atau lebih
dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat, yang disingkat menjadi Tritura. Dengan
dipelopori oleh KAMI dam KAPI, pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan
aksi yang bergabung dalam fron Pancasila memenuhi halaman DPR GR dan mengajukan
tiga buah tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tritura itu, yang isinya
adalah :
- Pembubaran PKI;
- Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI; dan
- Penurunan harga dan perbaikan ekonomi.
3. KOMANDO
PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
Sore hari tanggal 2 Oktober 1965
setelah berhasil mengiuasai kembali keaasaan kota Jakarta, Mayend Soeharto
menemui Presiden di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut presiden memutuskan
untuk secra langsung memegang tampuk PimpinanAngkatan Darat yang semenjak
tanggak 1 Iktober 1965 untuk sementara Mayjend Soeharto. Sebagai
pelaksana harian presiden menunjuk Mayjend Pranoto Reksosamudro untuk
menyelenggarakan pemulihan keamanan dan ketertiban seperti sedia kala ditunjuk
Mayjend Soeharto, panglima Kostrad.
Keputusan tersebut disiarkan oleh
Presiden dalam Pidato melalui RRI Pusat dini hari pukul 01.30 tanggal 3 Oktober
1965. Pengangkatan Mayjend Soeharto sebagai panglima operasi pemulihan keamanan
dan ketertiban serta pembentukan komando operasi pemulihan keamanan dan
ketertiban (Kopkamtib) kemudian diatur dengan Kepres/Pangti ABRI/Koti Nomor
142/Koti/1965 tanggal 1 November 1965, Nomor 162/Koti/1965/tgl 12
November 1965 dan Nomor 179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965.
Tugas pokok Kopkamtib adalah
memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa Gerakan 30
September serta menegakkan kembali kewibawaan pemerintah pada umumnya dengan
jalan operasi fisik, militer dan mental. Dalam usaha penumpasan gerakan
pemberontakan ini, di mana-mana ABRI mendapat bantuan dari rakyat dan
bekerjasama dengan organisai-organisasi politik dan organisasi-organisasi massa
yang setia kepada pancasila.
4. SURAT
PERINTAH 11 MARET
Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden
mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto, menteri/pangad, yang
pokoknya berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk atas nama presiden/Pangti
ABRI/peminpim besar Revolusi, mengambil sega tindakan yang dianggap perlu guna
terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kesetabilam pemerintahan.
Pemberian surat perintah tersebut
merupakan pemberian kepercayaan dan sekaligus pemberian wewang kepda Letjend
Soeharto untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba tidak menentu. Keluarnya
Surat Perintah tersebut disambut dengan semangat yang menggelora oleh rakyat
dan durat perintah tersebut sering disebut “Supersemar” (Surat Perintah 11
Maret). Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada Supersemar, dengan menimbang
masih adanya kegiatan sisa-sisa G30S/PKI serta memperhatikan hasil-hasil
pengadilan dan keputusan Mahkamah militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh
G30S/PKI, pada tanggal 12 Maret 1966 Letjend Soeharto atas nama Presiden/Pangti
ABRI/Pemimpin Besar Revolusi menandatangani Surat Keputusan Prsiden/Pangti ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi/PBR. No 1/3/1966, yaitu pembubaran PKI dan organisasi-organisasi
yang bernaungdan berlindung dibawahnya serta menyatakan sebagai organisasi
terlarang di wilayah kekuasaan Negara RI.
5.
PEMBUBARAN PKI
Berdasarkan wewenang yang bersumber
pada Supersemar, Letjend Soeharto atas nama Presiden menetapkan pembubaran dan
pelarangan PKI, termasuk semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat
sampai kedaerah beserta semua organisasi yang se azas/ berlindung/bernaung
dibawahnya, keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden/Pangti
ABRI/mandataris MPR/PBR no.1/3/1966 tanggal 12 maret 1966 dan merupakan
tindakan pertama Letjen Soeharto sebagai pengemban perintah 11 Maret atau
Supersemar.
Keputusan pembubaran dan
pelarangan PKI itu diamabil oleh pengemban Supersemar berdasarkan
pertimbangan bahwa PKI telah nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan
kekejaman. Bukan itu saja, tetapi telah dua kali pengkhianatan terhadap negara
dan rakyat Indonesia yang sedanag berjuang.
Seluruh rakyat yang menjunjung
tinggi landasan falsafah dan ideologi Pancasila waktu itu serentak menuntut
dibubarkannya PKI. Oleh karena itu, keputusan pembubaran PKI itu disambut
dengan gembira dan perasaan lega oleh seluruh rakyat Indonesia.
6. Isu Terkait Gerakan 30 September
Gerakan 30
September atau yang sering disingkat G 30 S PKI,
G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok
(Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam
tanggal 30
September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia
beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang
kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
PKI merupakan partai
komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet.
Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta
anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia
yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih
dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli
1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi
yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era
"Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus
menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Perayaan
Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana
Menteri Zhou
Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa
syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan
waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan
Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan
hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat
para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era
"Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani,
gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan
ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan
korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana
Menteri Zhou
Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini
gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga
menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada awal tahun 1965 Bung
Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide
tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari
ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan
nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI
makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis
massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi
polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum
Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri
dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau
semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara"
subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan
permulaan 1965
ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah.
Bentrokan-bentrokan
tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas
setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat
dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan
1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika
Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga
menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena
jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini
dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengangkatan
Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan
ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara
tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap
hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia,
termasuk para komunis".
Rezim Sukarno
mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI
mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer,
menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam
angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan
ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha
untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas
hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam
laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang
meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan
jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk
memicu ketidakpastian di masyarakat.
Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang
Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang
Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang
sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang
dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil
berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik
tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini
antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten
yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.
Keributan antara
PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu
pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa
Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa
tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah
tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI
mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi
Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16
September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia
merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI,
menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan
G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober),
dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan
Darat.
“
|
Sejak demonstrasi
anti-Indonesia di Kuala Lumpur,
di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila
ke hadapan Tunku
Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia
saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap
Malaysia pun meledak.
|
”
|
Soekarno yang
murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[2]
dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal
dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi
Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia.
Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia"
ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen
Ahmad Yani
tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa
tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut,
sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution
setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan
ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di
Indonesia.
Posisi Angkatan
Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno
yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan
Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan.
Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan
Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[3].
Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal
tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa
tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari
dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti
yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang
memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
“
|
Soekarno adalah
seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang
menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak
mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak
mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak
mungkin menjadi boneka.
|
”
|
Di pihak PKI,
mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang
mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan
kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung
kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI
memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan
yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu
ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia,
khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia
memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI
untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah
di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari
1965).
Dari sebuah
dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka
yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga
menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno
berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ...
Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI,
tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak
Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang
kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada
Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi
yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang
dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor Amerika Serikat
Amerika Serikat
pada waktu itu sedang terlibat dalam perang
Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini
sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik
dan walkie-talkie serta
obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang
menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa
ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu
pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar,
hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal
8 Agustus
1965 yang
mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia
tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada
tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang
sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan
atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan
oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain,
terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan
daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat
ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat
Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat
kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan
"ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan
Indonesia.
Inflasi yang
mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok
lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan
Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan
terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat
dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek,
serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan
kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini
menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal
tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian
orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta
tempat-tempat lainnya.
Peristiwa
Sumur
Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam
jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat
yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang
mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang
termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar
hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh
beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan
adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4].
Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI
kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika
Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti
yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian
Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of
Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan
untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini
tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda
dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul
Latief di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Meski demikian,
Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak
penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap
keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G.
Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian
Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of
State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger
Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September
30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim
(Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).
Korban
Keenam pejabat
tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Jenderal TNI Abdul
Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan
tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan
beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan
tersebut.
Selain itu
beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Para korban
tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pasca
pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi
vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat
dan Kantor Telekomunikasi
yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman
tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota
“Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan
pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan
DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan
Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua
perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan
Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan
Dewan Revolusioner oleh
para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober
Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua
anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober
1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan
dan Kosygin mengirim pesan khusus
untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa
kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato
anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan
menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober
1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan
Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
“
|
Saya perintahkan
kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya
berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik
Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali
menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti,
yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas
prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK
telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada
negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas
Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto,
sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan
sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
|
”
|
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua
di Havana di
bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan
mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang
yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia.
Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia
mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari,
menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan
dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi
Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan
30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan dan pembantaian
Penangkapan
Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan
setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang
dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan
dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti barisan
Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal,
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat
tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965,
antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah
menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer
yang didukung dana CIA
[1]
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu
dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.
Di daerah-daerah
lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan
kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis
"anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit
250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah
itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah
Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.
Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang
PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden
tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI
terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit,
yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan
tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para
ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan
Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam
yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini
didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia
di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya
Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang
minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain
mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Peringatan
Monumen
Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian
tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober,
ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto,
biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia
setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan
dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP
Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi
dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29
September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang
peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai
pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.
Berikut adalah daftar tokoh penting
di Indonesia yang hilang, terbunuh atau dihukum mati pada masa pembersihan komunis di
Indonesia paska Gerakan 30 September 1965.
- Chaerul Saleh, pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri, wakil perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Salah satu pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. (meninggal 1967 sebagai tahanan)
- DN Aidit, ketua PKI (meninggal ditembak 1965)
- Lukman Njoto, Menteri Negara pada masa pemerintahan Soekarno dan wakil Ketua CC PKI yang sangat dekat dengan D.N. Aidit (ditangkap 1966 dan hilang)
- Muhammad Arief, pencipta lagu "Genjer-genjer"
- M.H. Lukman, Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia. Termasuk dalam pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok (dihukum mati 1965)
- Sudisman, anggota Politbiro CC PKI.
- Untung Syamsuri, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965. (dihukum mati 1969)
- Wikana, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, bersama Chaerul Saleh dan Sukarni termasuk dalam pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. (hilang)
BAB V
KESIMPULAN
Akhir dari Orde Lama, di tandai oleh
tragedi nasional yang biasa disebut Gerakan 30 September, yang dilakukan oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI ). Hal ini merupakan usaha mengganti Pancasila
dan UUD 1945 dengan ideologi komunis. Inilah bahaya terbesar bagi Pancasila dan
UUD 1945 yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia.
Hari Kamis, 30 September malam 1965,
PKI telah siap melakukan pemberontakan dengan pangkalan di Lubang Buaya,
termasuk daerah pangkalan Halim Perdana Kusumah. Gerakan tersebut dipelopori
oleh pasukan Pasopati di bawah pimpinan Lettu Dul Arief dan pasukan yang
memakai seragam Resimen Cakrabirawa Pengawal Istana, yang dipimpin oleh Letkol
Untung Sutopo. Mereka bergerak hari Jumat, 1 Oktober 1965, pukul 03.00 dini
hari memasuki Ibukota dengan sasaran : (a) menculik dan membunuh beberapa
perwira tinggi TNI-AD, dan (b) menduduki tempat vital, seperti studio Radio
Republik Indonesia, pusat telekomunikasi, dan Istana Merdeka.
Sasaran yang menjadi korban adalah
Letnan Jendral Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jendral haryono (Deputy
Khusus) dibunuh di rumah kediaman kemudian dibawa ke Lubang Buaya. Lettu Piere
Andreas Tendean (Ajudan menko Hankam KASAB Jenderal A.H. Nasution), Mayor
Jenderal Suprapto (Deputy Pembinaan), Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I),
brigjen D.I. Panjaitan ( Asisten IV), Brigjen Sutoyo Siswomiharjo ( Inspektur
Kehakiman), diculik dan dibawa ke Lubang Buaya, disiksa dan dibunuh, dimasukkan
sumur kering. Peristiwa sadis tersebut selesai pukul 06.30 pagi. Dalam
usaha penculikan itu Jenderal Nasution dapat menyelamatkan diri, tetapi Ade
Irma Suryani, puterinya yang masih kecil, menjadi korban membentengi ayahnya..
Dalam penyiksaan di Lubang Buaya
tersebut, disaksikan oleh Sukitman (seorang anggota Poltas) yang lepas
dari tawanan pemberontak. Selanjutnya Sukitman berjasa sebagai informan dalam
pencarian para korban oleh pasukan yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto.
Tanggal 2 Oktober 1965 , saat
menjelang subuh, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), dibantu Batayon
328 Kujang Siliwangi, berhasil merebut Pangkalan Halim Perdana Kusumah, basis
G30S/PKI. Letkol Untung Sutopo dan Dipo Nusantara Aidit (Pimpinan Sentral
Komite Partai Komunis Indonesia atau CCPKI) berhasil lolos dan melarikan diri.
Tanggal 4 Oktober 1965, dilakukan
pengambilan jenazah para perwira Tinggi AD oleh anggota RPKAD dan KKO AL,
dipimpin oleh Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto. Pada hari berikutnya, para
Perwira Tinggi AD dan Seorang Perwira pertama korban penculikan G30S/PKI
tersebut dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi dengan Surat Keputusan No.
III/KOTI/1965 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata Jakarta.
Bagaimanapun, Pancasila dan UUD 1945
pulalah yang sebenarnya berhasil untuk menggagalkan G30S/PKI dan
menghancurkannnya. Hal itu artinya, bahwa G30S/PKI tersebut dapat digagalkan
oleh kekuatan rakyat yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Nilai-nilai
Pancasila yang pernah menyelamatkan bangsa Indonesia dari bahaya perpecahan
bangsa menjelang Proklamasi Kemerdekaan, saat ini kembali jiwa dan semangatnya
berkobar dengan seindah-indahnya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari
pengkhianatan G30S/PKI. Itulah makna dari tanggal 1 Oktober sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Yang sakti bukan Pancasila sebagai rumusan yuridis formal,
melainkan nilai-nilainya yang dipahami, dihayati, dan diamalkan secara murni
dan konsekuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kegagalan G30S/PKI berarti
berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama, dan tangggal 1 Oktober 1965 menjadi
awal proses peralihan dari masa pemerintahan Orde lama ke Orde Baru, yaitu orde
atau tatanan yang secara murni dan konsekuen. Murni berarti sesuai dengan
hakikat makna masing-masing sila dari Pancasila, tanpa rekayasa dan jauh dari
pemaksaan; konsekuen berarti tulus dan bertanggung jawab. Mulainya Orde Baru
ditengarai dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) dari Presiden
Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang
perlu demi keamanan bangsa dan negara. Berdasar pada Supersemar tersebut,
tanggal 12 Maret 1966 Soeharto membubarkan PKI dengan segenap Ormas (Organisasi
Massa) dan Orpol (Organisasi Politik)-nya.
DAFTAR PUSTAKA
____________.1994.Gerakan
30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia.Jakarta: Sekretarit
Negara RI.
____________.1981.30 Tahun
Indonrsia Merdeka.Jakarta:Sekretariat Kementrian Negara RI.
Gottschalk, louis.1975.Mengerti
Sejarah.terjemahan Nugroho Notosusanto.Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia
Ismaun. Helius Sjamsuddin. 1996. Pengantar
Ilmu Sejarah.Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Proyek
Pendidikan Tenaga Akademik.
Kaswati, anggar.1998.Metodologi
sejarah dan Historiografi.Yogyakarta: Beta Offset Yogyakarta.
Soegeng, A.Y.2002.Memahami
Sejarah Indonesia (Materi Pendidikan Pancasila).Salatiga:Widya Sari Press.
Suwanto,dkk.1997.Sejarah Nasional
dan Umum.Semarang:Aneka Ilmu.
Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaam
dan Pengembaan Bahasa. 1993.Kamus Besar Bagasa Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.
[1]
Organisasi-organisasi yang dibentuk sebagai pelaksanaan strategi PKI dalam
usahanya memperluasa anggota dan simpatisannya
[2] Golongan
menengah dalam masyarakat yang menentang PKI
[3] Golongan
usahawan kecil
[4]
Undang-Undang keamanan bersama (AS 1951). Berdasarkan MSA, Amerika Serikat akan
memberikan bantuan ekonomi, teknik dan pertahanan kepada suatu negara
dalam rangka memperkuat keamanan AS dan keamanan dunia bebas dalam rangka perang
dingin. Jika suatu negara setuju untuk menerima bantuan berdasarkan program
MSA, negara dapat memilih pasal 511(a) untuk bantuan pertahanan, atau pasal 511
(b) untuk bantuan ekonomi dan teknik. Pada bulan Januari 1952 Menteri Luar
Negeri Soebardjo (kabinet Sukiman) menerima tawaran dari Dubes AS, Merle H.
Cochran, mengenai masalah bantuan kepada bangsa Indonesia berdasarkan MSA, yang
karena ingin menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan perlengakapan
senjata. Menlu Soebardjo dinilai oleh DPR telah melanggar prinsip politik bebas
aktif, mendapat mosi tidak percaya, akibatnya kebinet Sukiman bubar pada bulan
April 1951.
[5] Ideologi
otoriter yang memuja superioritas nasional. Anti Komunisme dan Liberalisme
[6] Jiwa dan
pelaksanaan kebualatan tekad Soekarno-Hatta dalam memimpin negara pada masa
revolusi kemerdekaan
[7] Berasal
dari pidato Presiden pada HUT RI tanggal 17 agustus 1959 berjudul
“penemuan kembali revolusi Kita”, yang disistematisasi oleh DPA sementara
menjadi manipol dan diusulkan menjadi GBHN, penetapannya dilakukan dengan
Penpres no 1 tahun 1960 kemudian dikukuhkan oleh MPRS dengan ketetapan Nomor
1/MPRS/1960, 19 November 1960. Intisari Manipol adalah UUD 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia
[8]Thesis PKI
tentang revolusi indonesia, hasil sidang pleno V CC PKI 1957. Panca Azimat
Revolusi, lima azas yang harus dipedomani untuk melaksanakan Revolusi Indonesia
yaitu Nasakom, Pancasila, Manipol-Usdek, Trisakti Tavip, Berdiri di atas kaki
sendiri (berdikari)
[9] Organisasi
massa yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden RI nomor 13 Tahun 1959
tanggal 31 Desember 1959, dengan tujuan menyelesaikan revolusi nasional,
pembangunan semesta dan mengembalikan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan
NKRI. Tugas FN adalah menghimpun dan mempersatukan kekuatan revolusioner dalam
masyarakat yang bekerja atas dasar Demokrasi Terpimpin. PKI berusaha
mendominasi FN karena merupakan forum perjuangan yang memenuhi selera PKI dalam
rangka Penggerakan aksi massa
[10] Gerakan PKI
dalam rangka mendukung Manifesto Politik (Manipol)
[11] Gerakan
memperhebat dan mengobarkan aksi-aksi massa untuk memberantas lawan-lawan PKI
[12] Penggantian
[13] Pengikut
Leon Trotsky, sebutan PKI terhadap tokoh-tokoh Partai Murba.
[14] Penjajahan
bentuk baru yang menjadi musuh revolusi Indonesia, sesuai dengan
pemahaman Demokrasi terpimpin.
[15] Organisasi
tani yang didirikan pada tahun 1946 kemudian bernaung dibawah PKI. Pada
1964-1965 BTI adalah ujung tombak dari aksi-aksi sepihak, denagn dalih
melaksanakan UUPA (landreform) dan UUPBH (bagi hail).
[16] Orang yang
tidak disukai oleh masyarakat atau lingkungan tempat dia bekerja atau
melaksanakkan tugas
[17] Istilah
untuk kaum Komunis
[18] Surat yang
diterima oleh Waperdam I ketua BPI Dr. Soebandrio dari pengirim yang tidak
dikenal. Surat itu berisi seolah-olah TNI-AD mengadakan kerjasama dengan pihak
inggris, yang pada saat itu (1965) dikategorikan sebagai musuh (nekolim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar