Jumat, 17 Mei 2013

Makalah Pengaruh Tayangan Televisi



PENDAHULUAN
Televisi sebagai media komunikasi telah mampu menyihir masyarakat, mulai dari anak usia prasekolah sampai orang tua. Hal yang mengkhawatirkan bila sihir tersebut telah mempengaruhi anak usia prasekolah.   Perilaku bermacam-macam dalam bentuk film kartun sangat mudah ditiru oleh anak usia prasekolah, baik perilaku fisik, perilaku soisal, meupun perilaku berbahasa. Hal ini mengkhawatirkan mengingat sebagian besar acara televisi bersifat antisosial (58,4%) yang mencakup berkata kasar (38,56%), mencelakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu, katagori prososial hanya (41,6%). Yang mencakup kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%). Mengingat besarnya pengaruh televisi terhadap perilaku sosial dan perkembangan bahasa, diperlukan  pendampingan terhadap perilaku menonton televisi anak. Pendampingan ini bertujuan membantu anak menyaring perilaku sosial yang perlu dicontoh dan mengarahkan perkembangan bahasa ke arah.yang.positif.
            Berbagai tayangan televisi, khususnya film anak-anak (kartun) amat digemari oleh anak, termasuk anak usia prasekolah. Film kartun seperti Spongebob Skuarepants, Dora The Explorer, Kapten Tsubasa, Ranma, Scooby Doo, Crayon Sincan, dan Rugrats  telah merampas waktu dan kesempatan anak-anak untuk bermain dengan teman sebayanya. Hal ini dapat  menghambat tumbuh kembang anak usia prasekolah secara wajafr (Sujanto, 1996:54). Pada usia ini, anak mulai memasuki usia menjelajah, usia bertanya, usia meniru, dan usia kreatif (Hariyadi, 2003:30). Apabila setiap hari anak berhadapan dengan tayangan televisi dengan berbagai ragam bahasa, tentu akan sangat mempengaruhi perilaku anak, termasuk  perilaku bahasanya. Usia prasekolah juga merupakan masa keemasan dalam tahap pemerolehan bahasa. Segala informasi  dan bentuk bahasa akan diserap dengan amat rakusnya oleh otak anak usia prasekolah, termasuk informasi dan ragam bahasa yang ditayangkan media televisi, khususnya acara untuk anak-anak.  Oleh karena itu, ragam bahasa, kekayaan kosa-kata, perkembangan kompleksitas kalimat anak sangat ditentukan oleh tayangan televisi sebagai lingkungan yang memengaruhinya. Anak sangat membutuhkan pendampingan orang tua pada saat menikmati tayangan televisi. Pemahaman anak terhadap tayangan televisi perlu diarahkan dan diberikan penjelelasan agar tumbuh kembang anak dapat terkontrol. Kegiatan pendampingan terhadap anak yang sedang menikmati tayangan televisi merupakan upaya memodifikasi lingkungan binaan anak. Modifikasi lingkungan binaan anak dalam bentuk pendampingan perilaku menonton televisi tentunya dapat merangsang perkembangan bahasa anak sehingga proses pemerolehan bahasa anak dapat berkembang secara maksimal.
Sebaliknya, perilaku menonton televisi anak yang tidak diarahkan secara baik dapat mengakibatkan penyimpangan perkembangan bahasa anak usia prasekolah.Hal ini dapat dipahami karena bahasa yang dituturkan secara verbal, yang berupa bunyi-bunyi ujaran tersebut tidak serta merta muncul tanpa adanya suatu proses tertentu yang melatarbelakanginya. Berbagai faktor yang dapat melatarbelakangi seseorang mengujarkan bahasa dalam bentuk tuturan, antara lain: lingkungan, pengetahuan, pengalaman, dan tingkat usia. Kesemua faktor tersebut terekam dalam piranti otak manusia yang disebut dengan pikiran. Televisi merupakan salah satu media elektronik yang hampir seluruh lapisan masyarakat dapat menikmatinya. Media ini menyediakan informasi baik berita, pengetahuan, maupun hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara bebas. Hasil dari pemerolehan informasi tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, dan pemikiran yang telah terkontaminasi. Dari proses saling mempengaruhi tersebut diinterpretasikan dalam bentuk bahasa dan tingkah laku seseorang. Media elektronik televisi menayangkan berbagai menu hiburan dan informasi menarik. Acara televisi untuk anak-anak begitu banyak jumlahnya dan ditayangkan hampir setiap waktu oleh berbagai stasiun televisi. Berbagai jenis film kartun televisi telah mempesona anak-anak dan menyedot sebagian besar waktu dan perhatiannya. Bahkan mereka memilih menonton televisi dibanding bermain dengan teman sebayanya. Tentu hal ini akan sangat menentukan perilaku anak, baik dalam pembentukan karakter maupun perilaku bahasanya.Jenis tayangan media televisi khususnya acara televisi untuk anak-anak tersebut akan terekam dalam pikiran anak dan sekaligus dapat mempengaruhi perilaku anak terutama bahasanya. Berdasarkan paparan di atas, penulis bermaksud  mengkaji bagaimana pola pendampingan orang terhadap perilaku menonton televisi anak usia prasekolah agar pemerolehan bahasa anak dapat berkembang secara maksimal.
Pengaruh Tayangan Televisi Terhadap Perilaku Sosial Dan Perkembangan Bahasa Anak Usia Prasekolah

            Setiap orang dewasa, pasti mengalami masa kanak-kanak atau masa prasekolah. Masa kanak-kanak ini berbeda dengan masa anak-anak.  Yang membedakan kedua masa ini yaitu segi usia, pengalaman, tindakan, persepsi, dan tingkat tuturan bahasanya. Dari segi perkembangannya, setiap orang juga mengalami masa pertumbuhan yang ditunjukkan dengan perubahan-perubahan fisik tertentu. Perubahan tersebut bermula dari manusia masih berada dalam kandungan hingga tua. Tahapan itu meliputi :1) masa prenatal, 2) masa bayi (0,0 2,0) 3) masa kanak-kanak (3,0-5,0), 4) masa anak-anak (6,0-12,0), 5) masa pemuda (13,0-16,0) atau (13,0-22,0) , 6) masa dewasa (23,0-45,0) dan 17,0-40,0) dan masa tua (Sujanto 1996: 156-160). Berdasarkan tahapan pertumbuhan tersebut diketahui bahwa anak usia 3-5 tahun termasuk dalam masa kanak-kanak atau masa prasekolah. Disebut masa prasekolah karena pada masa tersebut anak-anak baru masuk usia TK/belajar di Taman Kanak-kanak. Yang merupakan jenjang pendidikan prasekolah. Sujanto juga menjelaskan bahwa bila anak berumur lebih dari 4 tahun mulai belajar/bermain di Taman Kanak-kanak, maka masa prasekolah itu antara 4-5 tahun (Sujanto, 1996:54). Masa ini, di sebut juga masa bermain. Karena anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain. Usia prasekolah masuk dalam kelompok masa operasional konkret dalam perkembangan anak.
Pada masa operasional konkrit ini anak-anak memiliki ciri-ciri yang menonjol dalam perkembangan awal masa kanak-kanak, sebutan yang digunakan ialah usia kelompok, usia menjelajah, usia bertanya, usia meniru, dan usia kreatif (Hariyadi 2003:30). Pada masa ini mereka lebih suka meniru pembicaraan dan tindakan orang lain. Mereka juga lebih kreatif dalam bermain dibandingkan pada masa-masa lain. Oleh karena itu, pada masa kanak-kanak ini, pengaruh dari luar atau lingkungan sangat besar. Bisa dikatakan, segala yang dilihat atau yang telah memberi stimulus pada dirinya akan segera direspon berupa tiruan tindakan  secara nyata atau perilaku berbahasanya.Menurut Langeveld (dalam Sujanto 1996:52) perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Pendidikan anak perlu menjangkau  segala aspek kemampuan positif yang ada pada anak. Pengaruh yang bersifat eksternal yang berupa  lingkungan keluarga, lingkungan bermain, dan media yang ada di lingkungan tersebut sangat besar. Televisi misalnya, yang setiap hari tak henti-hentinya menampilkan perilaku bermacam-macam karakter anak dalam bentuk film kartun sangat mudah ditiru oleh anak usia prasekolah, baik perilaku fisik maupun perilaku bahasanya. Anak-anak sering menirukan kata-kata yang baru saja ia dengar. Pernyataan ini dapat dipahami bahwa pada masa ini anak sudah menggunakan kemampuan menirunya. Dan ingin diketahui orang lain apa saja yang baru ia lakukan. Dengan demikian dapat ditarik simpulan bahwa anak pada masa prasekolah sangat mudah meniru termasuk dalam berbahasa.
PROSES.PEMEROLEHAN.BAHASA
            Berbicara mengenai pikiran dan bahasa, tak ubahnya seperti dua sisi mata uang, yakni sangat dekat jarak dan hubungannya, dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini benar, karena banyak di antara para ahli yang memperdebatkan posisi dan kaitan antara pikiran dan bahasa dalam diri manausia secara normal. Bermacam pertanyaan muncul. Apakah cara berpikir yang mempengaruhi bahasa ataukah bahasa yang menentukan seseorang berbahasa. Dapatkah seseorang berpikir tanpa bahasa, atau mungkinkah bahasa dimunculkan tanpa adanya proses berpikir? Dalam hubungan dengan pikiran dan bahasa, dikenal adanya inner speech dan external speech. Inner speech merupakan suatu ujaran, yakni pikiran yang berkaitan dengan kata. Kata-kata itu lenyap pada saat pikiran terbentuk, sedangkan external speech menerangkan bahwa pikiran itu terwujud dalam kata-kata (Dardjowidjojo, 2003: 284). Kaitan antara bahasa dan pikiran ini berhubungan dengan proses pemerolehan bahasa pada manusia. Hal ini karena manusia mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemampuan tersebut berkaitan denga keterampilan berbahasa yang menunjang, yaitu: keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Dalam hal ini bahasa adalah dasar utama dari semua keterampilan ini.
            Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses yang serupa dengan yang dialami oleh anak-anak dalam mengembangkan bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa pada anak-anak dilakukan  tanpa suatu upaya yang disadarinya. Pemerolehan bahasa merupakan proses ambang sadar, anak-anak tidak sadar tentang kaidah bahasa, tetapi ia merasakan benar tidaknya apa yang ia ucapkan. Kemampuan manusia berbahasa itu merupakan suatu perpaduan antara sruktur biologis otak dan lingkungan sekitar. Bagi anak, aktivitas berpikir merupakan interpretasi dari apa yang dipikirkan atau hasil pengalamannya. Dikatakan oleh Sujanto (1996:71) bahwa perkembangan pikiran selalu setingkat dan sejalan dengan perkembangan sosial, dan bahasa merupakan alat untuk berpikir. Dengan demikian kaitan antara kedua komponen tersebut sangat erat. Bahkan lebih lanjut Sujanto (1996:72) menambahkan bahwa berpikir adalah berbicara yang tidak dapat diucapkan, berucap adalah bercakap, yaitu berpikir dengan apa yang sedang diucapkan. Walaupun kognisi seorang anak telah tersusun rapi dan stabil dalam masa ini, tetapi kognisi itu beroperasi lebih banyak dan cenderung mengambil objek-objek konkrit dan peristiwa-peristiwa nyata di dunia, termasuk tayangan televisi.
            Pada waktu anak belajar bahasa, ia mendengarkan lebih dahulu kata-kata atau kalimat yang diujarkan oleh orang lain. Hal ini berarti bahwa pada diri anak terdapat proses berpikiran. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa proses berpikir merupakan dasar untuk mengerti dan mencapai ujarannya. Cara anak menentukan makna suatu kata bukanlah hal yang mudah yang diperolehnya itu akhirnya sama dengan makna yang dipakai oleh orang dewasa (Dardjowidjojo, 2003 : 260). Dardjowidjojo menjelaskan, dalam hal penentuan makna suatu kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal, salah satu di antarannya adalah yang  dinamakan overectention yang telah diterjemahkan menjadi penggelembungan makna.
Sebagai penanggung jawab utama keluarga, orang tua perlu mengetahui dan memahami tahap-tahap pemerolehan bahasa, sehingga dapat membantu dan mengisi masa yang tepat bagi anak dalam  memeroleh dan mengembangkan bahasa dengan seoptimal mungkin. Anak usia prasekolah perlu didampingi dan dilayani kebutuhan bahasanya. Pada saat ini, anak akan selalu bertanya karena rasa ingin tahu yang sangat besar sehingga orang tua perlu sabar dan didaktis dalam melayani kebutuhan bahasa anak usia prasekolah. Usia prasekolah juga merupakan masa keemasan dalam tahap pemerolehan bahasa. Segala informasi  dan bentuk bahasa akan diserap dengan amat rakusnya oleh otak anak usia prasekolah, termasuk informasi dan ragam bahasa yang ditayangkan media televisi, khususnya acara untuk anak-anak.

PENGARUH.TELEVISI

Televisi sebagai Teknologi Informasi
            Dalam permulaan tahun 80-an, saat televisi memasuki tahap kedua sebagai media masa, ia berkembang sangat cepat sebagai barang dagangan yang cukup mahal, namun diterima dan disukai oleh seluruh lapisan masyarakat dari seluruh bangsa di dunia (Latuheru, 1998:98). Sejak itu, televisi telah mampu menyihir dan membuat gandrung para penonton, mulai dari anak-anak sampai dewasa. Tidak heran bila sampai terjadi keributan kecil dalam sebuah keluarga hanya karena berebut menonton acara yang disukai. Televisi digandrungi masyarakat karena televisi menyajikan berbagai macam acara yang disajikan berupa hiburan, informasi, periklanan dan lainnya. Televisi menduduki urutan pertama dalam “The big five of mass media” yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran dengan fungsi komunikasi yang saling melengkapi yaitu Social function dan Individual Function. Fungsi terhadap masyarakat (Social function) bersifat sosiologis sedangkan fungsi terhadap individu (Individual function) bersifat psikologis (Djuarsa 1993). Social Function mencakup a) pengawasan lingkungan, b) korelasi antar bagian di dalam masyarakat untuk menanggapi lingkungannya, c) sosialisasi atau pewarisan nilai-nilai, dan d) hiburan (Lasswell dan wright, 1975). Individual function  mencakup  a) pengawasan atau pencarian informasi b)  Mengembangkan konsep diri, c) fasilitasi dalam hubungan sosial, d) substitusi dalam hubungan sosial, e) membantu melegakan emosi, f) sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan, dan g) bagian dari kehidupan rutin atau ritualisasi (Becker 1985).
Selain memanfaatkan fungsi komunikasi melalui media massa, kita juga penting mengetahui dampak dari komunikasi melalui media massa. Dampak komunikasi massa dalam tulisan ini akan dilihat dari dua aspek yaitu dampak yang berkaitan dengan media secara fisik dan dampak yang berkaitan dengan pesan media massa.
Media massa berdampak pada aktivitas fisik, misalnya ekonomi, sosial, jadwal kegiatan, dan penyaluran perasaan. Selain itu,  media massa juga memiliki dampak secara kognitif, afektif, dan konatif. Dampak konatif media massa berupa pola-pola tindakan, kegiatan atau perilaku yang dapat diamati pada penonton televisi.  Secara teoretis, dampak pesan media massa biasanya hanya sampai pada tahap kognitif dan afektif, tetapi ada beberapa kondisi yang menyebabkan dampak pesan media massa sampai pada tahap konatif yaitu: exposure (jangkauan pengenaan), kredibilitas (jika pesan media massa mempunyai kredibilitas yang tinggi dimata khalayaknya dalam arti kebenarannya dapat dipercaya), konsonasi (jika isi informasi yang disampaikan oleh beberapa media massa, baik materi, arah serta orientasinya maupun dalam hal waktu, frekuensi dan cara penyajiannya sama atau serupa), signifikansi (jika materi pesan media masa signifikan dalam arti berkaitan secara langsung dengan kepentingan dan kebutuhan khalayak, sensitif (jika materi dan penyajian pesan media massa menyentuh hal-hal yang sensitif, situasi kritis (jika ada ketidakstabilan struktural yang menyebabkan masyarakat berada dalam situasi kritis, dan dukungan komunikasi antar pribadi (jika informasi melalui media massa menjadi topik pembicaraan, karena didukung oleh komunikasi antar pribadi).
Televisi memberikan pengaruh sosial kepada masyarakat, baik anak-anak maupun pemuda, dan orang dewasa. Pengaruh ini dapat dilihat dari perkataan dan perbuatan. Dari siaran televisi yang ditayangkan kebanyakan dari masayarakat meniru bila hal itu cocok untuk dirinya terutama anak-anak. Karena televisi merupakan  sumber informasi dan hiburan bagi anak-anak.
Televisi, kedudukannya sebagai media audio visual yang akrab dengan anak memberikan informasi yang memotivasi anak-anak untuk lebih kreatif . Meniru apa yang ada di dalamnya, walaupun hanya sekedar mainan, tetapi itu adalah suatu proses belajar tersendiri bagi anak.
Pengaruh Televisi pada Perilaku Sosial Anak
Rakhmat (1991) mengungkapkan bahwa gambaran dunia dalam televisi merupakan gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan Usil. Tangan pertama yang usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera (angles) menentukan kesan pada diri pemirsa. Tangan kedua adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk menimbulkan kesan yang dikehendaki.  Tangan ketiga adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa mengakrabkan objek yang jauh dengan penonton.  Memang televisi bisa menjadikan komunikasi interpersonal antara penonton dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis yang jauh. Tangan keempat adalah perilaku para penyair televisi. Mereka dapat menggarisbawahi berita, memberikan makna yang lain, atau sebaliknya meremehkannya. Mereka mempu-nyai posisi stategis dalam menyampaikan pesan pada khalayak.
Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kontra. Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyarakat. Sebaliknya, pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku destruktif lainnya. Secara umum kontraversi  tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak dan perilaku berbahasanya.
Sebagai media massa, tayangan televisi memungkinkan bisa ditonton anak-anak termasuk acara-acara yang ditujukan untuk orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan acara-acara khusus untuk anak. Walaupun acara khusus anak tersebut masih sangat minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YLKI) (1997), persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7 s.d. 4,5% dari total tayangan yang ada. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ternyata persentase kecil inipun materinya sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan anak-anak.
Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh produk film impor. Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mikhty Mouse, Tom and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang, seperti Dora Emon, Candy Candy, Sailoor Moon, Dragon Ball, Spongebob Skuarepants, Dora The Explorer, Kapten Tsubasa, Ranma, Scooby Doo, Crayon Sincan, dan Rugrats sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi kita. Sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman.
Jika kita perhatikan dalam film kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui cara-cara yang sama.
Andayani (1997) melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan antisosial (58,4%) daripada adegan prososial 41,6%). Hal ini sungguh ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan. Studi ini menemukan bahwa kategori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mencelakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu, katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%).
Temuan ini sejalan dengan temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menampilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada adegan prososial (36,49%). Begitu pula tayangan film lainnya khususnya film impor membawa muatan negatif, misalnya film kartun Batman dan Superman, menurut hasil penelitian Stein dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif yang dapat dikategorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun seperti Batman dan Superman.
Perbedaan budaya, ideologi, dan agama negara produsen film dengan negara kita jelas akan mewarnai terhadap substansi film tersebut. Karena film dimanapun tidak sekedar tontonan belaka, ia dapat membawa ideologi, nilai, dan budaya masyarakatnya. Misalnya, mungkin Satria Baja Hitam atau Power Ranger mempunyai andil besar atas terbentuknya sikap keberanian dan anti kezaliman. Tetapi keberanian yang dibutuhkan rakyat Indonesia dan anak Jepang jelas berbeda, paling tidak dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam keseharian masyarakat kita mensyaratkan keberanian ‘apa adanya’ tanpa tersembunyi dibalik kecanggihan teknologi. Sehingga diharapkan akan tertanam sikap berani dalam berkreasi sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya keberanian di Jepang dalam lingkungan masyarakatnya sudah ditunjang dengan teknologi yang canggih. Kondisi ini apabila dipandang sama, dikhawatirkan akan melahirkan generasi yang cengeng dan mudah menyerah. Begitu pula aspek-aspek lain masih banyak yang kurang sesuai dengan kondisi sosia
l budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang diharapkan dapat menanamkan nilai, norma, krativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’ atau sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri dan budaya bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia.
Sebagian besar anak hidup di lingkungan keluarga. Pendidikan di keluarga akan memberi landasan bagi kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu perilaku anak sangat dominan dipengaruhi oleh ling-kungan keluarganya (Anwas, 1998). Beberapa pakar psikologi mengatakan bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya kelak. Yang lebih menarik adalah hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles (dalam Supriadi 1997). Temuannya menunjukkan bahwa pengaruh negatif tayangan televisi, justru terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya, anak-anak yang mutu kehidupannya rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang teguh nilai, etika, dan moral serta orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan terhadap pengaruh tayangan negatif televisi. Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa memperma-salahkan kualitas tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertim-bangkan kualitas kehidupan keluarga. Ini bera
rti menciptakan keluarga yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.
Mungkin kita akan lebih yakin terhadap temuan Coles apabila mengkaji bagaimana proses pembentukan perilaku manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus yang diterima melalui pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu yang masih labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan yang akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya. Bagi anak yang berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di layar televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orang tuanya bisa menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku sehari-hari membuat benteng yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di layar televisi. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga yang mutu kehidupan keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit disaring, karena mereka belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula dalam lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku normatif yang dapat dijadikan filter tayangan televisi.
Pengaruh Televisi pada Perkembangan Bahasa Anak
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat. Bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berdasarkan pada budaya yang mereka miliki bersama  (Dardjowodjojo, 2003 : 16). Bahasa yang dituturkan secara verbal, yang berupa bunyi-bunyi ujaran tersebut tidak serta merta datang atau muncul begitu saja tanpa adanya suatu proses tertentu yang melatarbelakanginya. Berbagai faktor yang dapat melatarbelakangi seseorang mengujarkan bahasa dalam bentuk tuturan, antara lain: lingkungan, pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya. Kesemua faktor tersebut terekam dalam piranti otak manusia yang disebut dengan pikiran.
Pada telaah mengenai bahasa dan pikiran, orang disodori oleh dua hipotesis, yaitu apakan cara berpikir seseorang mempengaruhi bahasanya, ataukah sebaliknya, bahasalah yang mempengaruhi cara berpikir seseorang? Berkaitan dengan otak manusia, dari segi ukurannya berat otak manusia adalah antara 1 sampai 1,5 kilogram (Steinberg dkk dalam Dardjowodjojo 2003 : 16). Otak manusia terdiri atas dua bagian yaitu batang otak dan korteks serebral. Yang menangani  fungsi-fungsi intelektual dan bahasa adalah korteks serebral. Orang sudah lama sekali berbicara tentang otak dan bahasa. Bila dilihat dari struktur serta organisasi otak manusia, otak memegang peranan yang sangat penting dalam bahasa.
Apabila input yang masuk  dalam bentuk lisan, maka bunyi-bunyi itu ditanggapi di lobe temporal, khususnya oleh korteks primer pendengaran. Dari keterangan di atas, terlihat bahwa pikiran dapat mempengaruhi perilaku bahasa dan buah pikiran di dapat dari pengalaman dan lingkungan.
Seperti diketahui bersama bahwa seiring dengan perkembangan zaman, arus informasi dan komunikasi turut berkembang dan terwujud semakin canggih. Media informasi, baik cetak maupun elektronik telah memadati masyarakat secara luas. Dengan adanya media tersebut, masyarakat lebih cepat dalam memperoleh informasi. Televisi merupakan salah satu  media elektronik yang hampir seluruh lapisan masyarakat dapat menikmatinya. Media ini menyediakan informasi baik berita, pengetahuan, maupun hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara bebas. Hasil dari pemerolehan informasi tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, dan pemikiran yang telah terkontaminasi. Dari proses saling mempengaruhi tersebut diinterpretasikan dalam bentuk bahasa dan tingkah laku seseorang. Fenomena ini sangat terlihat jelas pada perilaku berbahasa anak-anak.
Masa anak-anak merupakan masa yang penuh dengan keceriaan dan bermain, di samping belajar. Dengan hadirnya media elektronik televisi yang menayangkan berbagai menu hiburan dan informasi menarik. Acara televisi untuk anak-anak begitu banyak jumlahnya dan ditayangkan hampir setiap waktu oleh berbagai stasiun televisi. Berbagai jenis film kartun televisi telah mempesona anak-anak dan menyedot sebagian besar waktu dan perhatiannya. Media televisi hampir selalu dijumpai anak-anak setiap hari, bahkan mereka memilih menonton televisi dibanding bermain dengan teman sebayanya. Tentu hal ini akan sangat menentukan perilaku anak, baik dalam pembentukan karakter maupun perilaku berbahasa.
Hubungan antara pikiran dan bahasa pernah di teliti oleh Piaget. Ia meneliti bagaimana keterkaitan antara bahasa dengan pikiran yang terjadi pada anak-anak. Menurut Piaget ada dua macam modus pikiran: pikiran terarah (directed) atau pikiran intelegen (intelligent) dan pikiran tak terarah atau pikiran austitik (autistic). Piaget percaya bahwa ada derajat komunikasibilitas pada anak, saat anak berbicara pada diri sendiri maupun kepada orang lain. Hal tersebut dinyatakan sebagai pikiran egosentris dan bahasanya sebagai bahasa egosentris (Dardjowodjojo 2003:283).
Keterkaitan antara bahasa dan pikiran seperti penelitian di atas juga dilakukan pada abad 18 dan abad 19 oleh seorang Jermanis yang akhirnya dikembangkan di Amerika oleh Franz Boas dkk. Boas melihat bahwa cara berpikir orang-orang ini dipengaruhi oleh struktur bahasa yang mereka pakai  (Dardjowodjojo  2003:284)
PENUTUP

Mengingat besarnya pengaruh tayangan televisi terhadap perilaku anak serta perkembangan bahasa anak, kiranya perlu para orang tua memantau dan mendampingi perilaku anak saat menonton televisi. Hal ini mengingat daya nalar anak masih sangat terbatas sehingga dimungkinkan anak meniru perilaku negatif daripada yang positif. Mudahnya perilaku dan perkembangan bahasa yang negatif  terjadi selain daya nalar anak masih sangat sederhana, juga porsi tayangan negatif (antisosial) dan corak bahasa negatif seperti mengumpat, mengejek, menghina, mengancam, merendahkan martabat orang lain, bahasa kasar, dan sejenisnya lebih dominan daripada bahasa-bahasa yang mengandung nilai budi pekerti.
Orang tua perlu memahami berbagai acara anak-anak di televisi sehingga bisa menentukan jadwal menonton, intensitas menonton, jenis tontonan yang boleh ditonton anak tanpa didampingi, boleh ditonton dengan pendampingan, serta tidak boleh ditonton. Selain itu, orang tua juga perlu mengembangkan pola pendampingan perilaku menonton televisi agar dapat sebanyak mungkin memetik nilai-nilai positif dari tayangan televisi, termasuk memanfaatkannya untuk memaksimalkan pemerolehan bahasa anak.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, Sri dan Hanif Suranto. 1997. Perilaku Antisosial di Layar Kaca: Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Anwas, Oos M. 1998. Kaum Ibu adalah Pendidik Utama. dalam HU Suara Karya Jakarta, 4 Mei 1998.
Becker, Samuel  L.1987 “Discovering Mass Communication”
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Dedi Supriadi. 1997. Kontraversial tentang Dampak Kekerasan Siaran Televisi terhadap Perilaku Pemirsanya: Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hariyadi, Sugeng, dkk. 2003. Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT MKDK UNNES.
Latuheru, Joh D.1998. Media Pembelajaran: Dalam Proses Belajar Mengajar Masa Kini. Jakarta: Depdikbud Dikti.
Jalaludin, Rahmat. 1991. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar