PENDAHULUAN
Televisi
sebagai media komunikasi telah mampu menyihir masyarakat, mulai dari anak usia
prasekolah sampai orang tua. Hal yang mengkhawatirkan bila sihir tersebut telah
mempengaruhi anak usia prasekolah. Perilaku bermacam-macam dalam
bentuk film kartun sangat mudah ditiru oleh anak usia prasekolah, baik perilaku
fisik, perilaku soisal, meupun perilaku berbahasa. Hal ini mengkhawatirkan
mengingat sebagian besar acara televisi bersifat antisosial (58,4%) yang
mencakup berkata kasar (38,56%), mencelakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%).
Sementara itu, katagori prososial hanya (41,6%). Yang mencakup kehangatan
(17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%). Mengingat
besarnya pengaruh televisi terhadap perilaku sosial dan perkembangan bahasa,
diperlukan pendampingan terhadap perilaku menonton televisi anak.
Pendampingan ini bertujuan membantu anak menyaring perilaku sosial yang perlu
dicontoh dan mengarahkan perkembangan bahasa ke arah.yang.positif.
Berbagai tayangan televisi, khususnya film anak-anak (kartun) amat digemari oleh anak, termasuk anak usia prasekolah. Film kartun seperti Spongebob Skuarepants, Dora The Explorer, Kapten Tsubasa, Ranma, Scooby Doo, Crayon Sincan, dan Rugrats telah merampas waktu dan kesempatan anak-anak untuk bermain dengan teman sebayanya. Hal ini dapat menghambat tumbuh kembang anak usia prasekolah secara wajafr (Sujanto, 1996:54). Pada usia ini, anak mulai memasuki usia menjelajah, usia bertanya, usia meniru, dan usia kreatif (Hariyadi, 2003:30). Apabila setiap hari anak berhadapan dengan tayangan televisi dengan berbagai ragam bahasa, tentu akan sangat mempengaruhi perilaku anak, termasuk perilaku bahasanya. Usia prasekolah juga merupakan masa keemasan dalam tahap pemerolehan bahasa. Segala informasi dan bentuk bahasa akan diserap dengan amat rakusnya oleh otak anak usia prasekolah, termasuk informasi dan ragam bahasa yang ditayangkan media televisi, khususnya acara untuk anak-anak. Oleh karena itu, ragam bahasa, kekayaan kosa-kata, perkembangan kompleksitas kalimat anak sangat ditentukan oleh tayangan televisi sebagai lingkungan yang memengaruhinya. Anak sangat membutuhkan pendampingan orang tua pada saat menikmati tayangan televisi. Pemahaman anak terhadap tayangan televisi perlu diarahkan dan diberikan penjelelasan agar tumbuh kembang anak dapat terkontrol. Kegiatan pendampingan terhadap anak yang sedang menikmati tayangan televisi merupakan upaya memodifikasi lingkungan binaan anak. Modifikasi lingkungan binaan anak dalam bentuk pendampingan perilaku menonton televisi tentunya dapat merangsang perkembangan bahasa anak sehingga proses pemerolehan bahasa anak dapat berkembang secara maksimal.
Berbagai tayangan televisi, khususnya film anak-anak (kartun) amat digemari oleh anak, termasuk anak usia prasekolah. Film kartun seperti Spongebob Skuarepants, Dora The Explorer, Kapten Tsubasa, Ranma, Scooby Doo, Crayon Sincan, dan Rugrats telah merampas waktu dan kesempatan anak-anak untuk bermain dengan teman sebayanya. Hal ini dapat menghambat tumbuh kembang anak usia prasekolah secara wajafr (Sujanto, 1996:54). Pada usia ini, anak mulai memasuki usia menjelajah, usia bertanya, usia meniru, dan usia kreatif (Hariyadi, 2003:30). Apabila setiap hari anak berhadapan dengan tayangan televisi dengan berbagai ragam bahasa, tentu akan sangat mempengaruhi perilaku anak, termasuk perilaku bahasanya. Usia prasekolah juga merupakan masa keemasan dalam tahap pemerolehan bahasa. Segala informasi dan bentuk bahasa akan diserap dengan amat rakusnya oleh otak anak usia prasekolah, termasuk informasi dan ragam bahasa yang ditayangkan media televisi, khususnya acara untuk anak-anak. Oleh karena itu, ragam bahasa, kekayaan kosa-kata, perkembangan kompleksitas kalimat anak sangat ditentukan oleh tayangan televisi sebagai lingkungan yang memengaruhinya. Anak sangat membutuhkan pendampingan orang tua pada saat menikmati tayangan televisi. Pemahaman anak terhadap tayangan televisi perlu diarahkan dan diberikan penjelelasan agar tumbuh kembang anak dapat terkontrol. Kegiatan pendampingan terhadap anak yang sedang menikmati tayangan televisi merupakan upaya memodifikasi lingkungan binaan anak. Modifikasi lingkungan binaan anak dalam bentuk pendampingan perilaku menonton televisi tentunya dapat merangsang perkembangan bahasa anak sehingga proses pemerolehan bahasa anak dapat berkembang secara maksimal.
Sebaliknya,
perilaku menonton televisi anak yang tidak diarahkan secara baik dapat
mengakibatkan penyimpangan perkembangan bahasa anak usia prasekolah.Hal ini
dapat dipahami karena bahasa yang dituturkan secara verbal, yang berupa
bunyi-bunyi ujaran tersebut tidak serta merta muncul tanpa adanya suatu proses
tertentu yang melatarbelakanginya. Berbagai faktor yang dapat melatarbelakangi
seseorang mengujarkan bahasa dalam bentuk tuturan, antara lain: lingkungan,
pengetahuan, pengalaman, dan tingkat usia. Kesemua faktor tersebut terekam
dalam piranti otak manusia yang disebut dengan pikiran. Televisi merupakan
salah satu media elektronik yang hampir seluruh lapisan masyarakat dapat
menikmatinya. Media ini menyediakan informasi baik berita, pengetahuan, maupun
hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara bebas. Hasil dari
pemerolehan informasi tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, dan
pemikiran yang telah terkontaminasi. Dari proses saling mempengaruhi tersebut
diinterpretasikan dalam bentuk bahasa dan tingkah laku seseorang. Media
elektronik televisi menayangkan berbagai menu hiburan dan informasi menarik.
Acara televisi untuk anak-anak begitu banyak jumlahnya dan ditayangkan hampir
setiap waktu oleh berbagai stasiun televisi. Berbagai jenis film kartun
televisi telah mempesona anak-anak dan menyedot sebagian besar waktu dan
perhatiannya. Bahkan mereka memilih menonton televisi dibanding bermain dengan
teman sebayanya. Tentu hal ini akan sangat menentukan perilaku anak, baik dalam
pembentukan karakter maupun perilaku bahasanya.Jenis tayangan media televisi
khususnya acara televisi untuk anak-anak tersebut akan terekam dalam pikiran
anak dan sekaligus dapat mempengaruhi perilaku anak terutama bahasanya.
Berdasarkan paparan di atas, penulis bermaksud mengkaji bagaimana pola
pendampingan orang terhadap perilaku menonton televisi anak usia prasekolah
agar pemerolehan bahasa anak dapat berkembang secara maksimal.
Pengaruh
Tayangan Televisi Terhadap Perilaku Sosial Dan Perkembangan Bahasa Anak Usia
Prasekolah
Setiap orang dewasa, pasti mengalami masa kanak-kanak atau masa prasekolah. Masa kanak-kanak ini berbeda dengan masa anak-anak. Yang membedakan kedua masa ini yaitu segi usia, pengalaman, tindakan, persepsi, dan tingkat tuturan bahasanya. Dari segi perkembangannya, setiap orang juga mengalami masa pertumbuhan yang ditunjukkan dengan perubahan-perubahan fisik tertentu. Perubahan tersebut bermula dari manusia masih berada dalam kandungan hingga tua. Tahapan itu meliputi :1) masa prenatal, 2) masa bayi (0,0 2,0) 3) masa kanak-kanak (3,0-5,0), 4) masa anak-anak (6,0-12,0), 5) masa pemuda (13,0-16,0) atau (13,0-22,0) , 6) masa dewasa (23,0-45,0) dan 17,0-40,0) dan masa tua (Sujanto 1996: 156-160). Berdasarkan tahapan pertumbuhan tersebut diketahui bahwa anak usia 3-5 tahun termasuk dalam masa kanak-kanak atau masa prasekolah. Disebut masa prasekolah karena pada masa tersebut anak-anak baru masuk usia TK/belajar di Taman Kanak-kanak. Yang merupakan jenjang pendidikan prasekolah. Sujanto juga menjelaskan bahwa bila anak berumur lebih dari 4 tahun mulai belajar/bermain di Taman Kanak-kanak, maka masa prasekolah itu antara 4-5 tahun (Sujanto, 1996:54). Masa ini, di sebut juga masa bermain. Karena anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain. Usia prasekolah masuk dalam kelompok masa operasional konkret dalam perkembangan anak.
Pada
masa operasional konkrit ini anak-anak memiliki ciri-ciri yang menonjol dalam
perkembangan awal masa kanak-kanak, sebutan yang digunakan ialah usia kelompok,
usia menjelajah, usia bertanya, usia meniru, dan usia kreatif (Hariyadi
2003:30). Pada masa ini mereka lebih suka meniru pembicaraan dan tindakan orang
lain. Mereka juga lebih kreatif dalam bermain dibandingkan pada masa-masa lain.
Oleh karena itu, pada masa kanak-kanak ini, pengaruh dari luar atau lingkungan
sangat besar. Bisa dikatakan, segala yang dilihat atau yang telah memberi
stimulus pada dirinya akan segera direspon berupa tiruan tindakan secara
nyata atau perilaku berbahasanya.Menurut Langeveld (dalam Sujanto 1996:52)
perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Pendidikan anak perlu
menjangkau segala aspek kemampuan positif yang ada pada anak. Pengaruh
yang bersifat eksternal yang berupa lingkungan keluarga, lingkungan
bermain, dan media yang ada di lingkungan tersebut sangat besar. Televisi
misalnya, yang setiap hari tak henti-hentinya menampilkan perilaku
bermacam-macam karakter anak dalam bentuk film kartun sangat mudah ditiru oleh
anak usia prasekolah, baik perilaku fisik maupun perilaku bahasanya. Anak-anak
sering menirukan kata-kata yang baru saja ia dengar. Pernyataan ini dapat
dipahami bahwa pada masa ini anak sudah menggunakan kemampuan menirunya. Dan
ingin diketahui orang lain apa saja yang baru ia lakukan. Dengan demikian dapat
ditarik simpulan bahwa anak pada masa prasekolah sangat mudah meniru termasuk
dalam berbahasa.
PROSES.PEMEROLEHAN.BAHASA
Berbicara mengenai pikiran dan bahasa, tak ubahnya seperti dua sisi mata uang, yakni sangat dekat jarak dan hubungannya, dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini benar, karena banyak di antara para ahli yang memperdebatkan posisi dan kaitan antara pikiran dan bahasa dalam diri manausia secara normal. Bermacam pertanyaan muncul. Apakah cara berpikir yang mempengaruhi bahasa ataukah bahasa yang menentukan seseorang berbahasa. Dapatkah seseorang berpikir tanpa bahasa, atau mungkinkah bahasa dimunculkan tanpa adanya proses berpikir? Dalam hubungan dengan pikiran dan bahasa, dikenal adanya inner speech dan external speech. Inner speech merupakan suatu ujaran, yakni pikiran yang berkaitan dengan kata. Kata-kata itu lenyap pada saat pikiran terbentuk, sedangkan external speech menerangkan bahwa pikiran itu terwujud dalam kata-kata (Dardjowidjojo, 2003: 284). Kaitan antara bahasa dan pikiran ini berhubungan dengan proses pemerolehan bahasa pada manusia. Hal ini karena manusia mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemampuan tersebut berkaitan denga keterampilan berbahasa yang menunjang, yaitu: keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Dalam hal ini bahasa adalah dasar utama dari semua keterampilan ini.
Berbicara mengenai pikiran dan bahasa, tak ubahnya seperti dua sisi mata uang, yakni sangat dekat jarak dan hubungannya, dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini benar, karena banyak di antara para ahli yang memperdebatkan posisi dan kaitan antara pikiran dan bahasa dalam diri manausia secara normal. Bermacam pertanyaan muncul. Apakah cara berpikir yang mempengaruhi bahasa ataukah bahasa yang menentukan seseorang berbahasa. Dapatkah seseorang berpikir tanpa bahasa, atau mungkinkah bahasa dimunculkan tanpa adanya proses berpikir? Dalam hubungan dengan pikiran dan bahasa, dikenal adanya inner speech dan external speech. Inner speech merupakan suatu ujaran, yakni pikiran yang berkaitan dengan kata. Kata-kata itu lenyap pada saat pikiran terbentuk, sedangkan external speech menerangkan bahwa pikiran itu terwujud dalam kata-kata (Dardjowidjojo, 2003: 284). Kaitan antara bahasa dan pikiran ini berhubungan dengan proses pemerolehan bahasa pada manusia. Hal ini karena manusia mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemampuan tersebut berkaitan denga keterampilan berbahasa yang menunjang, yaitu: keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Dalam hal ini bahasa adalah dasar utama dari semua keterampilan ini.
Pemerolehan
bahasa (language acquisition) adalah proses yang serupa dengan yang dialami
oleh anak-anak dalam mengembangkan bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa pada
anak-anak dilakukan tanpa suatu upaya yang disadarinya. Pemerolehan
bahasa merupakan proses ambang sadar, anak-anak tidak sadar tentang kaidah
bahasa, tetapi ia merasakan benar tidaknya apa yang ia ucapkan. Kemampuan
manusia berbahasa itu merupakan suatu perpaduan antara sruktur biologis otak
dan lingkungan sekitar. Bagi anak, aktivitas berpikir merupakan interpretasi
dari apa yang dipikirkan atau hasil pengalamannya. Dikatakan oleh Sujanto
(1996:71) bahwa perkembangan pikiran selalu setingkat dan sejalan dengan
perkembangan sosial, dan bahasa merupakan alat untuk berpikir. Dengan demikian
kaitan antara kedua komponen tersebut sangat erat. Bahkan lebih lanjut Sujanto
(1996:72) menambahkan bahwa berpikir adalah berbicara yang tidak dapat
diucapkan, berucap adalah bercakap, yaitu berpikir dengan apa yang sedang
diucapkan. Walaupun kognisi seorang anak telah tersusun rapi dan stabil dalam
masa ini, tetapi kognisi itu beroperasi lebih banyak dan cenderung mengambil
objek-objek konkrit dan peristiwa-peristiwa nyata di dunia, termasuk tayangan
televisi.
Pada
waktu anak belajar bahasa, ia mendengarkan lebih dahulu kata-kata atau kalimat
yang diujarkan oleh orang lain. Hal ini berarti bahwa pada diri anak terdapat
proses berpikiran. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa proses berpikir
merupakan dasar untuk mengerti dan mencapai ujarannya. Cara anak menentukan
makna suatu kata bukanlah hal yang mudah yang diperolehnya itu akhirnya sama
dengan makna yang dipakai oleh orang dewasa (Dardjowidjojo, 2003 : 260). Dardjowidjojo
menjelaskan, dalam hal penentuan makna suatu kata, anak mengikuti
prinsip-prinsip universal, salah satu di antarannya adalah yang dinamakan
overectention yang telah diterjemahkan menjadi penggelembungan makna.
Sebagai penanggung jawab utama
keluarga, orang tua perlu mengetahui dan memahami tahap-tahap pemerolehan
bahasa, sehingga dapat membantu dan mengisi masa yang tepat bagi anak
dalam memeroleh dan mengembangkan bahasa dengan seoptimal mungkin. Anak
usia prasekolah perlu didampingi dan dilayani kebutuhan bahasanya. Pada saat
ini, anak akan selalu bertanya karena rasa ingin tahu yang sangat besar
sehingga orang tua perlu sabar dan didaktis dalam melayani kebutuhan bahasa
anak usia prasekolah. Usia prasekolah juga merupakan masa keemasan dalam tahap
pemerolehan bahasa. Segala informasi dan bentuk bahasa akan diserap
dengan amat rakusnya oleh otak anak usia prasekolah, termasuk informasi dan
ragam bahasa yang ditayangkan media televisi, khususnya acara untuk anak-anak.
PENGARUH.TELEVISI
Televisi sebagai Teknologi Informasi
Dalam
permulaan tahun 80-an, saat televisi memasuki tahap kedua sebagai media masa,
ia berkembang sangat cepat sebagai barang dagangan yang cukup mahal, namun
diterima dan disukai oleh seluruh lapisan masyarakat dari seluruh bangsa di
dunia (Latuheru, 1998:98). Sejak itu, televisi telah mampu menyihir dan membuat
gandrung para penonton, mulai dari anak-anak sampai dewasa. Tidak heran bila
sampai terjadi keributan kecil dalam sebuah keluarga hanya karena berebut
menonton acara yang disukai. Televisi digandrungi masyarakat karena televisi
menyajikan berbagai macam acara yang disajikan berupa hiburan, informasi,
periklanan dan lainnya. Televisi menduduki urutan pertama dalam “The big five
of mass media” yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran dengan fungsi
komunikasi yang saling melengkapi yaitu Social function dan Individual
Function. Fungsi terhadap masyarakat (Social function) bersifat sosiologis
sedangkan fungsi terhadap individu (Individual function) bersifat psikologis
(Djuarsa 1993). Social Function mencakup a) pengawasan lingkungan, b) korelasi
antar bagian di dalam masyarakat untuk menanggapi lingkungannya, c) sosialisasi
atau pewarisan nilai-nilai, dan d) hiburan (Lasswell dan wright, 1975).
Individual function mencakup a) pengawasan atau pencarian informasi
b) Mengembangkan konsep diri, c) fasilitasi dalam hubungan sosial, d)
substitusi dalam hubungan sosial, e) membantu melegakan emosi, f) sarana
pelarian dari ketegangan dan keterasingan, dan g) bagian dari kehidupan rutin
atau ritualisasi (Becker 1985).
Selain memanfaatkan fungsi
komunikasi melalui media massa, kita juga penting mengetahui dampak dari
komunikasi melalui media massa. Dampak komunikasi massa dalam tulisan ini akan
dilihat dari dua aspek yaitu dampak yang berkaitan dengan media secara fisik
dan dampak yang berkaitan dengan pesan media massa.
Media massa berdampak pada aktivitas
fisik, misalnya ekonomi, sosial, jadwal kegiatan, dan penyaluran perasaan.
Selain itu, media massa juga memiliki dampak secara kognitif, afektif, dan
konatif. Dampak konatif media massa berupa pola-pola tindakan, kegiatan atau
perilaku yang dapat diamati pada penonton televisi. Secara teoretis,
dampak pesan media massa biasanya hanya sampai pada tahap kognitif dan afektif,
tetapi ada beberapa kondisi yang menyebabkan dampak pesan media massa sampai
pada tahap konatif yaitu: exposure (jangkauan pengenaan), kredibilitas (jika
pesan media massa mempunyai kredibilitas yang tinggi dimata khalayaknya dalam
arti kebenarannya dapat dipercaya), konsonasi (jika isi informasi yang
disampaikan oleh beberapa media massa, baik materi, arah serta orientasinya
maupun dalam hal waktu, frekuensi dan cara penyajiannya sama atau serupa),
signifikansi (jika materi pesan media masa signifikan dalam arti berkaitan
secara langsung dengan kepentingan dan kebutuhan khalayak, sensitif (jika
materi dan penyajian pesan media massa menyentuh hal-hal yang sensitif, situasi
kritis (jika ada ketidakstabilan struktural yang menyebabkan masyarakat berada
dalam situasi kritis, dan dukungan komunikasi antar pribadi (jika informasi
melalui media massa menjadi topik pembicaraan, karena didukung oleh komunikasi
antar pribadi).
Televisi memberikan pengaruh sosial
kepada masyarakat, baik anak-anak maupun pemuda, dan orang dewasa. Pengaruh ini
dapat dilihat dari perkataan dan perbuatan. Dari siaran televisi yang
ditayangkan kebanyakan dari masayarakat meniru bila hal itu cocok untuk dirinya
terutama anak-anak. Karena televisi merupakan sumber informasi dan
hiburan bagi anak-anak.
Televisi, kedudukannya sebagai media
audio visual yang akrab dengan anak memberikan informasi yang memotivasi
anak-anak untuk lebih kreatif . Meniru apa yang ada di dalamnya, walaupun hanya
sekedar mainan, tetapi itu adalah suatu proses belajar tersendiri bagi anak.
Pengaruh Televisi pada Perilaku
Sosial Anak
Rakhmat (1991) mengungkapkan bahwa gambaran dunia dalam televisi merupakan gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan Usil. Tangan pertama yang usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera (angles) menentukan kesan pada diri pemirsa. Tangan kedua adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk menimbulkan kesan yang dikehendaki. Tangan ketiga adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa mengakrabkan objek yang jauh dengan penonton. Memang televisi bisa menjadikan komunikasi interpersonal antara penonton dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis yang jauh. Tangan keempat adalah perilaku para penyair televisi. Mereka dapat menggarisbawahi berita, memberikan makna yang lain, atau sebaliknya meremehkannya. Mereka mempu-nyai posisi stategis dalam menyampaikan pesan pada khalayak.
Rakhmat (1991) mengungkapkan bahwa gambaran dunia dalam televisi merupakan gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan Usil. Tangan pertama yang usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera (angles) menentukan kesan pada diri pemirsa. Tangan kedua adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk menimbulkan kesan yang dikehendaki. Tangan ketiga adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa mengakrabkan objek yang jauh dengan penonton. Memang televisi bisa menjadikan komunikasi interpersonal antara penonton dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis yang jauh. Tangan keempat adalah perilaku para penyair televisi. Mereka dapat menggarisbawahi berita, memberikan makna yang lain, atau sebaliknya meremehkannya. Mereka mempu-nyai posisi stategis dalam menyampaikan pesan pada khalayak.
Besarnya potensi media televisi
terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kontra. Pandangan pro melihat
televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif
masyarakat. Sebaliknya, pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang
dapat merusak moral dan perilaku destruktif lainnya. Secara umum
kontraversi tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu
pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah
ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga
televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak
dan perilaku berbahasanya.
Sebagai media massa, tayangan
televisi memungkinkan bisa ditonton anak-anak termasuk acara-acara yang
ditujukan untuk orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan
acara-acara khusus untuk anak. Walaupun acara khusus anak tersebut masih sangat
minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YLKI) (1997), persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi
anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7 s.d. 4,5% dari total tayangan yang
ada. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ternyata persentase kecil inipun materinya
sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan anak-anak.
Tayangan televisi untuk anak-anak
tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis film ini sangat populer
di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini.
Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh produk film impor.
Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mikhty Mouse, Tom and Jerry, atau Woody
Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang,
seperti Dora Emon, Candy Candy, Sailoor Moon, Dragon Ball, Spongebob
Skuarepants, Dora The Explorer, Kapten Tsubasa, Ranma, Scooby Doo, Crayon
Sincan, dan Rugrats sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun
televisi kita. Sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya
ancaman.
Jika kita perhatikan dalam film
kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan masalah tokohnya
cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan.
Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis).
Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan,
begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui cara-cara
yang sama.
Andayani (1997) melakukan penelitian
terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan
Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung
adegan antisosial (58,4%) daripada adegan prososial 41,6%). Hal ini sungguh
ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan. Studi ini menemukan bahwa
kategori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah
berkata kasar (38,56%), mencelakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%).
Sementara itu, katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah
kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%).
Temuan ini sejalan dengan temuan
YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak
menampilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada adegan prososial (36,49%).
Begitu pula tayangan film lainnya khususnya film impor membawa muatan negatif,
misalnya film kartun Batman dan Superman, menurut hasil penelitian Stein dan
Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif yang dapat
dikategorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun seperti Batman
dan Superman.
Perbedaan budaya, ideologi, dan
agama negara produsen film dengan negara kita jelas akan mewarnai terhadap
substansi film tersebut. Karena film dimanapun tidak sekedar tontonan belaka,
ia dapat membawa ideologi, nilai, dan budaya masyarakatnya. Misalnya, mungkin
Satria Baja Hitam atau Power Ranger mempunyai andil besar atas terbentuknya
sikap keberanian dan anti kezaliman. Tetapi keberanian yang dibutuhkan rakyat
Indonesia dan anak Jepang jelas berbeda, paling tidak dalam kehidupan
sehari-harinya. Dalam keseharian masyarakat kita mensyaratkan keberanian ‘apa
adanya’ tanpa tersembunyi dibalik kecanggihan teknologi. Sehingga diharapkan
akan tertanam sikap berani dalam berkreasi sesuai dengan lingkungan di
sekitarnya. Sebaliknya keberanian di Jepang dalam lingkungan masyarakatnya
sudah ditunjang dengan teknologi yang canggih. Kondisi ini apabila dipandang
sama, dikhawatirkan akan melahirkan generasi yang cengeng dan mudah menyerah.
Begitu pula aspek-aspek lain masih banyak yang kurang sesuai dengan kondisi
sosia
l budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang diharapkan dapat menanamkan nilai, norma, krativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’ atau sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri dan budaya bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia.
l budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang diharapkan dapat menanamkan nilai, norma, krativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’ atau sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri dan budaya bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia.
Sebagian besar anak hidup di
lingkungan keluarga. Pendidikan di keluarga akan memberi landasan bagi
kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu perilaku anak sangat dominan
dipengaruhi oleh ling-kungan keluarganya (Anwas, 1998). Beberapa pakar
psikologi mengatakan bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas
dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya kelak. Yang lebih menarik adalah
hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles (dalam Supriadi
1997). Temuannya menunjukkan bahwa pengaruh negatif tayangan televisi, justru
terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya, anak-anak yang mutu
kehidupannya rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sebaliknya
keluarga yang memegang teguh nilai, etika, dan moral serta orang tua benar-benar
menjadi panutan anaknya tidak rawan terhadap pengaruh tayangan negatif
televisi. Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa memperma-salahkan kualitas
tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertim-bangkan kualitas kehidupan
keluarga. Ini bera
rti menciptakan keluarga yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.
rti menciptakan keluarga yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.
Mungkin kita akan lebih yakin
terhadap temuan Coles apabila mengkaji bagaimana proses pembentukan perilaku
manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus yang diterima melalui
pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu yang masih
labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan yang
akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan
televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya. Bagi anak yang
berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di layar
televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orang
tuanya bisa menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku
sehari-hari membuat benteng yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di
layar televisi. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga yang mutu kehidupan
keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit disaring, karena mereka
belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula dalam
lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku
normatif yang dapat dijadikan filter tayangan televisi.
Pengaruh Televisi pada Perkembangan
Bahasa Anak
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat. Bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berdasarkan pada budaya yang mereka miliki bersama (Dardjowodjojo, 2003 : 16). Bahasa yang dituturkan secara verbal, yang berupa bunyi-bunyi ujaran tersebut tidak serta merta datang atau muncul begitu saja tanpa adanya suatu proses tertentu yang melatarbelakanginya. Berbagai faktor yang dapat melatarbelakangi seseorang mengujarkan bahasa dalam bentuk tuturan, antara lain: lingkungan, pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya. Kesemua faktor tersebut terekam dalam piranti otak manusia yang disebut dengan pikiran.
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat. Bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berdasarkan pada budaya yang mereka miliki bersama (Dardjowodjojo, 2003 : 16). Bahasa yang dituturkan secara verbal, yang berupa bunyi-bunyi ujaran tersebut tidak serta merta datang atau muncul begitu saja tanpa adanya suatu proses tertentu yang melatarbelakanginya. Berbagai faktor yang dapat melatarbelakangi seseorang mengujarkan bahasa dalam bentuk tuturan, antara lain: lingkungan, pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya. Kesemua faktor tersebut terekam dalam piranti otak manusia yang disebut dengan pikiran.
Pada telaah mengenai bahasa dan
pikiran, orang disodori oleh dua hipotesis, yaitu apakan cara berpikir
seseorang mempengaruhi bahasanya, ataukah sebaliknya, bahasalah yang
mempengaruhi cara berpikir seseorang? Berkaitan dengan otak manusia, dari segi
ukurannya berat otak manusia adalah antara 1 sampai 1,5 kilogram (Steinberg dkk
dalam Dardjowodjojo 2003 : 16). Otak manusia terdiri atas dua bagian yaitu
batang otak dan korteks serebral. Yang menangani fungsi-fungsi
intelektual dan bahasa adalah korteks serebral. Orang sudah lama sekali
berbicara tentang otak dan bahasa. Bila dilihat dari struktur serta organisasi
otak manusia, otak memegang peranan yang sangat penting dalam bahasa.
Apabila input yang masuk dalam
bentuk lisan, maka bunyi-bunyi itu ditanggapi di lobe temporal, khususnya oleh
korteks primer pendengaran. Dari keterangan di atas, terlihat bahwa pikiran
dapat mempengaruhi perilaku bahasa dan buah pikiran di dapat dari pengalaman
dan lingkungan.
Seperti diketahui bersama bahwa
seiring dengan perkembangan zaman, arus informasi dan komunikasi turut
berkembang dan terwujud semakin canggih. Media informasi, baik cetak maupun
elektronik telah memadati masyarakat secara luas. Dengan adanya media tersebut,
masyarakat lebih cepat dalam memperoleh informasi. Televisi merupakan salah
satu media elektronik yang hampir seluruh lapisan masyarakat dapat
menikmatinya. Media ini menyediakan informasi baik berita, pengetahuan, maupun
hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara bebas. Hasil dari
pemerolehan informasi tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, dan
pemikiran yang telah terkontaminasi. Dari proses saling mempengaruhi tersebut
diinterpretasikan dalam bentuk bahasa dan tingkah laku seseorang. Fenomena ini
sangat terlihat jelas pada perilaku berbahasa anak-anak.
Masa anak-anak merupakan masa yang
penuh dengan keceriaan dan bermain, di samping belajar. Dengan hadirnya media
elektronik televisi yang menayangkan berbagai menu hiburan dan informasi menarik.
Acara televisi untuk anak-anak begitu banyak jumlahnya dan ditayangkan hampir
setiap waktu oleh berbagai stasiun televisi. Berbagai jenis film kartun
televisi telah mempesona anak-anak dan menyedot sebagian besar waktu dan
perhatiannya. Media televisi hampir selalu dijumpai anak-anak setiap hari,
bahkan mereka memilih menonton televisi dibanding bermain dengan teman
sebayanya. Tentu hal ini akan sangat menentukan perilaku anak, baik dalam
pembentukan karakter maupun perilaku berbahasa.
Hubungan antara pikiran dan bahasa
pernah di teliti oleh Piaget. Ia meneliti bagaimana keterkaitan antara bahasa
dengan pikiran yang terjadi pada anak-anak. Menurut Piaget ada dua macam modus
pikiran: pikiran terarah (directed) atau pikiran intelegen (intelligent) dan pikiran
tak terarah atau pikiran austitik (autistic). Piaget percaya bahwa ada derajat
komunikasibilitas pada anak, saat anak berbicara pada diri sendiri maupun
kepada orang lain. Hal tersebut dinyatakan sebagai pikiran egosentris dan
bahasanya sebagai bahasa egosentris (Dardjowodjojo 2003:283).
Keterkaitan antara bahasa dan
pikiran seperti penelitian di atas juga dilakukan pada abad 18 dan abad 19 oleh
seorang Jermanis yang akhirnya dikembangkan di Amerika oleh Franz Boas dkk.
Boas melihat bahwa cara berpikir orang-orang ini dipengaruhi oleh struktur
bahasa yang mereka pakai (Dardjowodjojo 2003:284)
PENUTUP
Mengingat besarnya pengaruh tayangan televisi terhadap perilaku anak serta perkembangan bahasa anak, kiranya perlu para orang tua memantau dan mendampingi perilaku anak saat menonton televisi. Hal ini mengingat daya nalar anak masih sangat terbatas sehingga dimungkinkan anak meniru perilaku negatif daripada yang positif. Mudahnya perilaku dan perkembangan bahasa yang negatif terjadi selain daya nalar anak masih sangat sederhana, juga porsi tayangan negatif (antisosial) dan corak bahasa negatif seperti mengumpat, mengejek, menghina, mengancam, merendahkan martabat orang lain, bahasa kasar, dan sejenisnya lebih dominan daripada bahasa-bahasa yang mengandung nilai budi pekerti.
Orang tua perlu memahami berbagai
acara anak-anak di televisi sehingga bisa menentukan jadwal menonton,
intensitas menonton, jenis tontonan yang boleh ditonton anak tanpa didampingi,
boleh ditonton dengan pendampingan, serta tidak boleh ditonton. Selain itu,
orang tua juga perlu mengembangkan pola pendampingan perilaku menonton televisi
agar dapat sebanyak mungkin memetik nilai-nilai positif dari tayangan televisi,
termasuk memanfaatkannya untuk memaksimalkan pemerolehan bahasa anak.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Sri dan Hanif Suranto. 1997. Perilaku Antisosial di Layar Kaca: Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Anwas, Oos M. 1998. Kaum Ibu adalah Pendidik Utama. dalam HU Suara Karya Jakarta, 4 Mei 1998.
Becker, Samuel L.1987 “Discovering Mass Communication”
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Dedi Supriadi. 1997. Kontraversial tentang Dampak Kekerasan Siaran Televisi terhadap Perilaku Pemirsanya: Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hariyadi, Sugeng, dkk. 2003. Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT MKDK UNNES.
Latuheru, Joh D.1998. Media Pembelajaran: Dalam Proses Belajar Mengajar Masa Kini. Jakarta: Depdikbud Dikti.
Jalaludin, Rahmat. 1991. Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar